selamat datang peziarah digital
2 Rakaat yang Mengalahkan Dunia Seisinya: Tinjauan Eskatologi Digital
Dunia bukan lagi sesuatu yang berada di luar sana, terbentang secara fisik. Kini dunia telah mengecil jadi benda segenggam yang kita bawa ke mana-mana. Dunia bukan lagi padang pasir yang luas, atau istana Romawi, atau harta karun di lautan. Dunia itu kini ada di ponselmu. Di layar yang menyala bahkan sebelum
4/24/20253 min read
Dunia bukan lagi sesuatu yang berada di luar sana, terbentang secara fisik. Kini dunia telah mengecil jadi benda segenggam yang kita bawa ke mana-mana.
Dunia bukan lagi padang pasir yang luas, atau istana Romawi, atau harta karun di lautan. Dunia itu kini ada di ponselmu. Di layar yang menyala bahkan sebelum matamu benar-benar melek.
Di layar itu, kamu bisa menjelajah segala hal yang dulu hanya bisa dibayangkan oleh manusia zaman Nabi. Perempuan dari negara jauh bisa kamu saksikan hanya dengan satu klik. Kekayaan, kemewahan, hasrat, hiburan, edukasi, bahkan simulasi kehidupan pun tersedia. Semuanya lengkap. Dunia seisinya, kini ada di tanganmu.
Tapi “dunia dan seisinya” hari ini bukan lagi hal yang umum dan generik. Ia telah menjadi sangat spesifik, sangat personal. Dunia di HP-mu tidak sama dengan dunia di HP orang lain. Apa yang kamu lihat di layar itu adalah hasil dari sejarah pencarianmu, interaksimu, klikmu, hasrat dan ketakutanmu. Dunia itu telah dikurasi oleh algoritma yang mengenalmu lebih baik daripada dirimu sendiri. Dunia dan seisinya bukan lagi Jazirah Arab atau kekaisaran Romawi, tapi personalized universe yang disesuaikan dengan profil digitalmu.
Setiap orang kini hidup dalam bola sabun masing-masing. Seperti tiupan sabun dari mainan anak-anak—transparan, rapuh, indah, dan berbeda-beda bentuknya. Cara kita memandang dunia tidak lagi sama, sebab dunia itu sendiri telah dipecah ke dalam gelembung-gelembung realitas yang terpisah. Inilah mengapa, ketika kamu kembali ke dunia nyata, kamu hanya bisa menjangkau dunia yang kamu mampu, yang kamu kenal, yang kamu klik. Dunia telah menjadi sangat subjektif.
Namun justru dalam dunia yang terasa penuh dan sesak itulah, sabda Nabi terdengar lebih dahsyat daripada sebelumnya: “Dua rakaat sebelum Subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya.”
Dulu sabda itu mungkin terdengar sebagai motivasi spiritual. Tapi hari ini, di era digital, ia menjadi kritik eksistensial yang tajam terhadap dunia yang telah kehilangan arah.
Bagaimana mungkin dua rakaat sunah bisa lebih baik daripada dunia yang menjanjikan segalanya? Popularitas, kecantikan, uang, pengaruh, validasi, bahkan surga digital yang seperti bisa menyembuhkan luka terdalam?
Mungkin karena dunia itu sendiri sudah rusak. Dunia yang dulu dicari dan diperebutkan dengan darah, kini disodorkan dengan notifikasi. Dunia yang dulu bernilai karena langka, kini kehilangan makna karena tersedia dalam versi tak terbatas. Dunia yang dulu harus dijelajahi dengan kaki, kini bisa digeser dengan ibu jari.
Dan karena itulah, dua rakaat itu bukan soal jumlahnya. Tapi maknanya. Dua rakaat sunyi sebelum shubuh bukan hanya ibadah, tapi bentuk perlawanan. Ketika mayoritas manusia sudah bangun, tapi untuk membuka ponsel, bukan untuk membuka sajadah. Ketika dunia digital adalah tuhan kecil yang bisa memberikan segala sesuatu, dua rakaat itu menjadi pengingat bahwa masih ada yang tak bisa digantikan—yakni kehadiranmu di hadapan Tuhan, bukan di hadapan layar.
Kita hidup dalam simulasi. Yang kita lihat di layar bukan dunia nyata, tapi refleksi dari hawa nafsu kita yang telah diretas. Dunia itu diciptakan agar kamu betah. Kamu bukan sedang menjelajah dunia; kamu sedang menjelajah dirimu sendiri yang dipantulkan oleh algoritma. Dan seperti cermin bengkok, ia memperbesar bagian yang kamu sukai dan menyembunyikan bagian yang kamu benci.
Maka, tak heran jika dunia itu tak pernah cukup. Kamu ingin lebih banyak, lebih cepat, lebih sempurna. Kamu ingin validasi instan. Kamu ingin jadi seseorang di dunia maya, bahkan jika itu berarti kehilangan dirimu sendiri di dunia nyata.
Seseorang pernah bercerita, dia gagal bangun tahajud. Alarmnya sudah disetel, dini hari sudah lewat, tapi yang pertama kali ia raih adalah HP. Lalu satu notifikasi dibuka, satu pesan dibalas, satu video ditonton. Tahu-tahu Subuh datang, dan salat pun terburu-buru. Bukan karena malas. Tapi karena kalah. Kalah oleh dunia digital yang lebih dulu menyapa.
Apakah kita sadar bahwa dunia digital telah mengambil peran sebagai tuhan kecil? Ia tahu apa yang kamu inginkan bahkan sebelum kamu menginginkannya. Ia memberi sebelum kamu minta. Ia menciptakan versi dunia berdasarkan nafsumu. Seolah-olah kamu sedang hidup dalam sistem kun fayakun—jadilah, maka jadilah. Tapi ini bukan mukjizat Tuhan. Ini adalah ilusi kekuasaan. Ilusi bahwa manusia bisa menjadi tuhan atas hidupnya sendiri.
Namun ilusi itu menyisakan kehampaan. Sebab tidak ada konten, tidak ada jumlah followers, tidak ada like, yang bisa menyembuhkan jiwa. Tak ada yang bisa menenangkan gelisah selain sujud.
Barangkali karena itu dua rakaat sebelum Subuh terasa begitu sakral. Ia adalah momen ketika manusia kembali ke fitrahnya. Tidak butuh notifikasi. Tidak butuh pujian. Tidak butuh afirmasi dari luar. Hanya butuh satu pengakuan: dari Tuhan.
Sujud adalah bentuk penolakan paling revolusioner terhadap dunia yang terus memaksa kita tampil sempurna. Sujud adalah bentuk kedaulatan terakhir manusia terhadap hidupnya sendiri.
Dan dalam eskatologi digital, kita tahu bahwa segala hal terekam. Bukan hanya oleh malaikat, tapi oleh server dan kamera. Jejak digital kita lebih abadi daripada tinta sejarah. Barangkali kelak di hari penghakiman, ponselmu sendiri yang akan bersaksi. Maka dua rakaat sebelum Subuh bukan hanya ibadah—tapi jejak bahwa kamu pernah sadar, pernah melawan, pernah memilih sunyi di tengah dunia yang ribut.
Hari ini, dunia tidak sedang mengajakmu untuk kufur. Ia hanya mengajakmu untuk lupa. Lupa waktu. Lupa arah. Lupa sujud. Maka, jika kamu masih bisa bangun, dan masih bisa menaruh dahimu di atas sajadah, maka kamu sedang melakukan tindakan paling radikal di era digital. Kamu sedang menyelamatkan jiwamu sendiri.
Dan di titik itu, kamu akan paham: kenapa dua rakaat sebelum Subuh lebih baik daripada dunia—dan seisinya. Yang ternyata bukan milik semua orang, tapi hanya milikmu, dan hasratmu.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis yang lahir dari penalaran, renungan, pengalaman serta pengetahuan subjektif penulis. Interpretasi dan kesimpulan yang disajikan bersifat reflektif dan tidak dimaksudkan sebagai jawaban atau kebenaran. Silakan berbeda pendapat dan temukan makna tafsir versi dirimu sendiri