selamat datang peziarah digital

a stadium filled with lots of people watching a soccer game
a stadium filled with lots of people watching a soccer game

Pengalaman Menjelang Kematian (Near-Death Experience) dan Pandanganku tentang Eskatologi

Februari 2024, di sebuah ranjang rumah sakit di Jakarta, aku terbaring koma. Tubuhku diserang sirosis hati dan varises esofagus yang menggerogoti kekuatan terakhirku. Saat itu, pecahnya varises pembuluh darah di sekitar kerongkongan membuat darah menyembur deras, menyebabkan muntah darah yang tak terkendali. Tubuhku semakin melemah, dan sepertinya aku berada di ambang batas antara hidup dan mati. Namun meski tubuhku sekarat, jiwaku justru merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah sensasi melayang, lalu mendarat di suatu tempat.

Aku berdiri di bawah tribun sebuah stadion yang sangat besar. Tempat itu terasa begitu familiar, meski aku belum pernah mengunjunginya—Stadion Barcelona. Posisi tubuhku berada di pinggir lapangan, menghadap ke tengah arena. Namun pertandingan yang berlangsung di sana terasa kabur, ngeblur, sulit dipahami. Yang paling jelas hanyalah sorotan lampu-lampu besar yang menerangi seluruh stadion.

Di tengah-tengah cahaya menyilaukan itu, dua wanita muda berdiri di tribun bangku penonton, sempat menoleh ke arahku. Mereka tertawa riang, bercanda ringan, seolah merayakan sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Pandangan mata kami sempat bertemu, dan dalam sekejap aku merasakan undangan penuh damai, seolah mereka mengajakku bergabung dalam kebahagiaan mereka. Namun tak lama, mereka kembali tenggelam dalam riuhnya stadion—aneh, tapi menyenangkan.

Tak berapa lama, seorang lelaki berpakaian ihram muncul di hadapanku. Ia tidak berkata apa-apa, hanya melambaikan tangan lembut, seolah mengundangku mendekat. Senyumnya membawa kedamaian luar biasa, membuatku merasa tenang, meski aku tahu, ini adalah perjalanan menuju dunia lain. Aku melangkah perlahan mendekatinya, sementara ia berlari kecil sambil menoleh ke belakang, mengajakku dengan lambaian tangannya. Sosok itu terasa sangat akrab, meski aku tidak tahu siapa dia. Saat satu langkah lagi aku melewati garis lapangan stadion, tiba-tiba terdengar suara ibuku memanggil-manggilku dari dunia nyata.

"Gun, bangun, Gun!" serunya, seraya menepuk-nepuk tubuhku dengan penuh keputusasaan.

Secepat kilat, aku pun kembali—terjaga, membuka mata, dan menemukan diriku masih terbaring di rumah sakit.

Namun rasanya seolah aku baru saja terbang melintasi waktu dan ruang. Rohku melayang dengan kecepatan yang tak terbayangkan—dari Stadion Barcelona ke Jakarta—hanya dalam sekejap, seperti adegan dalam film animasi Aladdin, ketika jin kembali ke dalam botolnya dalam satu kedipan mata.

Begitu membuka mata, aku sempat kebingungan. Oh ya, ternyata aku di rumah sakit. Aku bahkan lupa di mana posisi kepalaku, di mana kakiku. Wajah ibuku adalah yang pertama kali kulihat, sebelum menyadari ruangan tempatku dirawat. Wajah itu penuh kecemasan, namun juga memancarkan rasa syukur yang dalam, seolah dia telah menunggu lama agar aku bisa kembali padanya.

Pengalaman itu membekas dalam diriku. Sebuah perjalanan yang tak mudah dijelaskan dengan kata-kata. Ada kedamaian mendalam yang datang bersamaan, meski aku sadar ini adalah batas antara hidup dan mati.

Meskipun aku merasa seperti telah menembus dimensi lain, ada sesuatu yang membuatku tenang—bahwa mungkin kematian bukanlah akhir yang menakutkan, melainkan sebuah pelukan hangat yang penuh kedamaian.

Setidaknya itulah sambutan pertama atas "kepulangan" kita: dipandu dan didampingi hingga ke pintu gerbang. Meskipun setelah itu, apa yang terjadi tetaplah spekulatif—apakah cahaya dan kebahagiaan itu akan terus mengiringi, atau justru digantikan oleh kegelapan dan siksaan?

Nabi Muhammad SAW pernah menggambarkan bahwa sakaratul maut adalah pengalaman yang sangat pedih, seperti disebutkan dalam hadis:

"Kematian itu lebih sakit daripada pukulan tiga ratus pedang." (HR. Tirmidzi)

Selama ruh masih terikat dengan jasad, rasa sakit itu memang menyiksa. Namun setelah tali itu putus, setelah ruh terbebas sepenuhnya, keadaannya berubah—seperti burung yang akhirnya lepas dari sangkarnya.

Tiada lagi rasa takut. Tiada lagi rasa sakit. Yang tersisa hanyalah ketenangan. Tubuh dan jiwaku mengapung ringan di udara yang jernih. Dalam damai yang sulit digambarkan dengan kata-kata.

Aku mulai memahami bahwa apa yang kualami mungkin bukan sekadar mimpi. Dalam literatur medis dan psikologi, NDE (near-death experience) sering kali diidentifikasi dengan beberapa ciri khas: merasakan keluar dari tubuh (out of body experience), melayang menuju suatu tempat, melihat cahaya terang atau terowongan cahaya, bertemu sosok penuh kedamaian, dan mendengar panggilan untuk kembali ke tubuh. Semua itu seolah menyatu dalam pengalaman yang sangat nyata dan pribadi.

Bahkan dalam pengalamanku, perasaan melayang dengan kecepatan luar biasa dari Barcelona menuju Jakarta menunjukkan bagaimana waktu bisa berubah secara dramatis—secepat kilat, tak terduga.

Aku pun menanyakan fenomena ini kepada AI ChatGPT. Menurutnya, stadion Barcelona yang menjadi latar bukanlah simbol sepakbola, melainkan tempat transisi batin yang dipilih oleh jiwaku—sebuah panggung batin yang lebih personal dan bermakna. Setiap orang yang mengalami NDE biasanya menemukan tempat yang sangat personal, bergantung pada latar belakang dan budaya mereka, misalnya ke ruangan yang asing, kembali ke rumah di masa kecil dst. Bagiku, stadion itu adalah tempat penuh cahaya, riuh namun damai, penuh dengan energi positif yang mengundang, bukan menakutkan.

Dan meskipun aku mendapatkan penjelasan rasional dari AI tentang pengalaman ini, ada satu hal yang tetap tak bisa dijelaskan oleh logika, yakni: perasaan yang menyertai perjalanan itu. Ada kedamaian, ada kehangatan yang tak bisa digantikan dengan kata-kata atau algoritma apa pun.

Pengalaman ini mengajarkanku satu hal: bahwa meskipun hidup penuh dengan kecemasan dan ketakutan, kematian mungkin tidaklah menakutkan. Ia hanyalah bagian dari perjalanan besar manusia—sebuah gerbang menuju misteri yang belum kita pahami sepenuhnya.

Mungkin, seperti yang dialami banyak orang dengan pengalaman serupa, kita semua pada akhirnya akan menghadapinya dengan cara yang sangat unik. Dengan simbolisme dan makna yang sangat pribadi. Untuk saat ini, aku hanya bisa mensyukuri setiap detik kehidupan yang masih diberikan, sambil terus mencoba memahami makna di balik mimpi itu—sebuah pengalaman yang mungkin bukan sekadar mimpi, melainkan transisi, pesan dari dunia yang belum kita ketahui.

Sejak saat itu, aku pun mulai memahami dunia dengan pendekatan eskatologis—melihat kehidupan, kematian, dan kehidupan setelah mati dalam satu alur kesadaran yang lebih dalam.

Di EskatologiDigital.com, Aku menulis tentang:

Selamat bergabung di tempat di mana akhir zaman bertemu dengan dunia digital. Aku menafsirkan ulang konsep-konsep eskatologi dan kehidupan di era AI melalui artikel. Di tengah dunia maya yang penuh konten, hoaks, dan viralitas, saya mengajak kamu untuk berpikir ulang, tertawa, dan mencari makna di balik segala kebisingan digital.

Website ini bukan tempat mencari kebenaran final, tapi ruang untuk merenung bersama, berdiskusi, dan—jika perlu—tertawa getir bareng-bareng. Karena Aku percaya: Kita semua hidup di akhir zaman, hanya saja versinya berbeda-beda. Dan Aku di sini untuk menemanimu menafsirkan versi kamu.

broken pot near mirror
broken pot near mirror

Aku menulis Blog ini bukan dari puncak inspirasi. Aku menulisnya dari reruntuhan.

Beberapa waktu lalu, tubuhku memutuskan untuk mengkhianatiku. Organ hatiku rusak, sirosis. Pikiranku retak, depresi berat. Rumah sakit seolah menjadi rumah kedua, setelah rumah utama. Aku kehilangan berat badan, tenaga, rasa percaya diri, dan kadang—keinginan untuk hidup. Setiap pagi bukan dimulai dengan semangat, tapi dengan pertanyaan: “Untuk apa lagi hari ini dijalani?”

Namun anehnya, justru di tengah kerapuhan itulah, pikiranku mulai bekerja ke arah yang tidak biasa. Dunia luar terasa jauh, tapi dunia digital sangat dekat. Layar HP adalah jendela satu-satunya, dan dari situlah Aku melihat “kiamat-kiamat kecil” yang terjadi setiap hari. Satu unggahan viral bisa menghancurkan reputasi seseorang. Satu komentar bisa menjadi vonis. Satu algoritma bisa menutup peluang hidup seseorang tanpa ia sadar.

Dari atas ranjang rumah sakit itu, Aku menyaksikan Padang Mahsyar baru yang sedang terbentuk: dunia digital, tempat semua manusia tampil, ditonton, ditimbang, dan dihakimi. Tapi pengadilnya bukan Tuhan, melainkan opini publik dan data yang tak pernah lupa.

Aku tidak punya kekuatan untuk lari dari kenyataan. Maka Aku menuliskannya. Aku memilih untuk menafsirkan ulang akhir zaman—bukan dari langit, tapi dari layar. Bukan dari wahyu, tapi dari wacana. Eskatologi Digital adalah proyek yang lahir dari lukaku dan pertanyaan yang tak bisa Aku jawab saat itu: "Kalau semua rekam jejak manusia disimpan di cloud, siapa yang akan membukanya di Hari Pembalasan?"

Hari ini Aku belum sembuh. Aku masih rawat jalan. Tapi menulis adalah caraku untuk berjalan. Dan setiap kata yang kususun adalah saksi bahwa Aku pernah jatuh, tapi tidak membusuk. Aku bertahan—dan Aku menulis.