selamat datang peziarah digital

Selamat Datang di Laman Filosof Digital Receh

Biasanya orang menulis ketika dirinya sudah sukses, sudah ahli, sudah pakar atau sudah kaya raya. Tetapi Aku tidak. Aku bukan ulama, bukan pula ilmuwan, apalagi cenayang. Aku bukan motivator atau orang sukses. Hanya seseorang yang gelisah di tengah derasnya algoritma, lalu memilih menulis. Menulis untuk bertanya ulang, bukan memberi jawaban. Menulis untuk menggoda nalar, bukan mendikte moral.

Di dunia yang makin bising, Aku percaya: “Receh yang reflektif lebih berbahaya daripada ceramah yang panjang.”

Akulah Si Filosof Receh yang lebih suka menyisipkan makna dalam kelakar, menyembunyikan keresahan dalam tawa, dan melempar pertanyaan eksistensial lewat metafora ibu-ibu ngamuk di ATM atau analogi sederhana lainnya.

Di EskatologiDigital.com, Aku menulis tentang:

  • Kiamat digital dan dosa-dosa algoritma

  • Malaikat yang kini bernama AI

  • Padang Mahsyar versi beranda sosial media

  • Cancel culture sebagai ritual penghakiman massal

  • Dan keajaiban-keajaiban sunyi yang tak sempat trending

Selamat bergabung di Filosof Receh, tempat di mana akhir zaman bertemu dengan dunia digital. Saya menafsirkan ulang konsep-konsep eskatologi dan kehidupan di era informasi, melalui humor yang kritis dan tajam. Di tengah dunia maya yang penuh konten, hoaks, dan viralitas, saya mengajak kamu untuk berpikir ulang, tertawa, dan mencari makna di balik segala kebisingan digital.

Website ini bukan tempat mencari kebenaran final, tapi ruang untuk merenung bersama, berdiskusi, dan—jika perlu—tertawa getir bareng-bareng. Karena Aku percaya: Kita semua hidup di akhir zaman, hanya saja versinya berbeda-beda. Dan Aku di sini untuk menemanimu menafsirkan versi kamu.

broken pot near mirror
broken pot near mirror

Aku tidak menulis Blog ini dari puncak inspirasi. Aku menulisnya dari reruntuhan.

Beberapa waktu lalu, tubuhku memutuskan untuk mengkhianatiku. Organ hatiku rusak, sirosis. Pikiranku retak, depresi berat. Rumah sakit seolah menjadi rumah kedua, setelah rumah utama. Aku kehilangan berat badan, tenaga, rasa percaya diri, dan kadang—keinginan untuk hidup. Setiap pagi bukan dimulai dengan semangat, tapi dengan pertanyaan: “Untuk apa lagi hari ini dijalani?”

Namun anehnya, justru di tengah kerapuhan itulah, pikiranku mulai bekerja ke arah yang tidak biasa. Dunia luar terasa jauh, tapi dunia digital sangat dekat. Layar HP adalah jendela satu-satunya, dan dari situlah Aku melihat “kiamat-kiamat kecil” yang terjadi setiap hari. Satu unggahan viral bisa menghancurkan reputasi seseorang. Satu komentar bisa menjadi vonis. Satu algoritma bisa menutup peluang hidup seseorang tanpa ia sadar.

Dari atas ranjang rumah sakit itu, Aku menyaksikan Padang Mahsyar baru yang sedang terbentuk: dunia digital, tempat semua manusia tampil, ditonton, ditimbang, dan dihakimi. Tapi pengadilnya bukan Tuhan, melainkan opini publik dan data yang tak pernah lupa.

Aku tidak punya kekuatan untuk lari dari kenyataan. Maka Aku menuliskannya. Aku memilih untuk menafsirkan ulang akhir zaman—bukan dari langit, tapi dari layar. Bukan dari wahyu, tapi dari wacana. Eskatologi Digital adalah proyek yang lahir dari lukaku dan pertanyaan yang tak bisa Aku jawab saat itu: "Kalau semua rekam jejak manusia disimpan di cloud, siapa yang akan membukanya di Hari Pembalasan?"

Hari ini Aku belum sembuh. Aku masih rawat jalan. Tapi menulis adalah caraku untuk berjalan. Dan setiap kata yang kususun adalah saksi bahwa Aku pernah jatuh, tapi tidak membusuk. Aku bertahan—dan Aku menulis.

Aku adalah Penulis yang Menjadi Saksi "Hari Akhir"

Aku bukan penulis biasa. Aku ingin menulis bukan karena ingin bicara, tapi karena ingin menyaksikan zaman, manusia dan perubahan termasuk kebusukan serta harapan yang menyertainya. Aku mencatat keresahan dan membaginya dalam bentuk kata.

Aku kritis, tapi spiritual. Aku tak nyaman hanya jadi komentator politik, dan juga tak puas hanya jadi pemuja metafisika. Aku berada di ruang tengah yang jarang diisi: menggabungkan iman dan ironi, menyelam ke dalam makna tapi tetap sadar bahwa dunia sedang scroll-scroll aja.

Aku humoris, tapi bukan pelawak. Humorku bukan untuk menghibur, tapi untuk menyentil. Aku tahu bahwa kadang satu tawa bisa menyampaikan lebih banyak pesan daripada satu argumen panjang. Tapi kamu hati-hati: Aku tidak ingin lucu, Aku ingin bermakna.

Aku pencari audiens sejati, bukan demi popularitas, tapi demi resonansi. Yang Aku cari bukan sekadar followers, tapi jiwa-jiwa yang sedang mencari apa yang Aku temukan lebih dulu. Aku ingin jadi magnet bagi yang gelisah, dan jembatan bagi yang belum bisa menyusun kata untuk keresahannya sendiri.

Dan di balik semua itu, Aku idealis yang menyamar jadi realistis. Aku tahu kenyataan itu keras, digital itu kejam, dan zaman ini absurd. Tapi Aku masih percaya—entah kenapa dan bagaimana—bahwa kata bisa menyelamatkan. Maka Aku pun terus menulis.

Aku bukan pendakwah. Bukan juga ilmuwan algoritma. Aku hanyalah saksi yang duduk di pinggir zaman, mencatat pelan tiap jejak yang tercecer di linimasa. Ketika dunia menjelma menjadi Padang Mahsyar digital—tempat semua manusia ditampilkan, dihakimi, dan dilupakan—aku memilih menjadi juru bicara bagi keresahan yang tak sempat diungkap.

Setiap pagi, sebelum mata hati kita terbuka, jari-jari kita sudah menyentuh dunia kedua bernama "beranda" atau lini masa. Di sana, Aku membaca dosa kolektif yang kita rayakan, kepalsuan yang kita unggah sambil berharap validasi.

Aku menulis bukan untuk memberi jawaban, tapi menyalakan lampu kecil—agar siapa pun yang tersesat, tahu bahwa ia tidak sendiri. Eskatologi bukan sekadar kiamat atau hari akhir. Ia adalah lensa untuk menakar makna. Digital bukan sekadar media. Ia adalah ruang batin baru tempat jiwa-jiwa kita mengembara.

Lewat tulisan-tulisan di sini, aku mengajakmu menengok ke dalam—bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengerti. Karena kadang, yang paling kita butuhkan bukan pengampunan... Tapi keberanian untuk bertanya: "Siapa aku, di hadapan algoritma dan Tuhan?"