selamat datang peziarah digital

Big Data & Cancel Culture: Neraka Digital Tanpa Ampun

Di era digital, kehancuran tak butuh kematian. Nama baik bisa amblas dalam semalam, reputasi lenyap hanya karena satu kesalahan, dan identitas terkubur dalam tumpukan data yang tak terhapuskan. Ini bukan dunia yang mengenal ampun, melainkan dunia yang menyimpan dosa-dosa digital lebih lama dari umur manusia itu sendiri. Cancel culture dan big data telah.

3/29/20253 min read

Welcome to Hell signage
Welcome to Hell signage

Di era digital, kehancuran tak butuh kematian. Nama baik bisa amblas dalam semalam, reputasi lenyap hanya karena satu kesalahan, dan identitas terkubur dalam tumpukan data yang tak terhapuskan. Ini bukan dunia yang mengenal ampun, melainkan dunia yang menyimpan dosa-dosa digital lebih lama dari umur manusia itu sendiri.

Cancel culture dan big data telah melahirkan sistem hisab duniawi yang jauh lebih brutal daripada pengadilan mana pun. Tak ada hakim, tak ada pembelaan, hanya massa yang dikendalikan algoritma. Satu kesalahan kecil bisa berubah menjadi vonis sosial seumur hidup. Jika di dunia nyata orang masih diberi kesempatan untuk menebus kesalahan, di dunia digital kesalahan adalah catatan permanen. Dosa tak terhapus, penebusan tak pernah tiba.

Di ranah eskatologi, hisab adalah penghakiman terakhir di mana manusia dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Tapi di era cancel culture, hisab bukan lagi sebuah proses. Ia terjadi seketika. Tanpa sidang, tanpa pengacara, tanpa pertimbangan kontekstual. Hukuman dijatuhkan dalam hitungan jam, eksekusinya berlangsung seumur hidup. Seseorang bisa dihancurkan hanya karena cuitan lama yang terangkat kembali, candaan yang tak lagi relevan dengan norma hari ini, atau bahkan tuduhan tanpa bukti yang dilempar ke media sosial.

Hukuman sosialnya jauh lebih kejam daripada sekadar kehilangan pekerjaan. Ia datang dalam bentuk isolasi digital, pengusiran dari komunitas, perusakan total terhadap reputasi, bahkan ancaman fisik. Yang lebih sadis, cancel culture tak mengenal ruang bagi seseorang untuk berkembang. Kesalahan di masa lalu dianggap sebagai representasi abadi diri seseorang. Tidak ada pengampunan, tidak ada pemisahan antara siapa yang dulu dan siapa yang sekarang. Semua perbuatan yang pernah tercatat dalam dunia digital diperlakukan seolah-olah baru saja terjadi, bahkan ketika dunia sudah berubah.

Dulu, manusia bisa meninggalkan masa lalunya. Kesalahan bisa ditebus, identitas bisa dibangun ulang. Namun di era big data, tidak ada yang benar-benar bisa menghapus jejaknya. Semua yang pernah dilakukan seseorang—entah itu tweet impulsif, status Facebook dari satu dekade lalu, atau artikel yang pernah ia tulis—tersimpan selamanya dalam server-server yang tak mengenal kata "lupa". Algoritma tak mengenal rekonsiliasi; ia hanya mengenal pola, riwayat, dan database yang tak memberikan ruang bagi manusia untuk berubah.

Sebuah kesalahan kecil yang viral akan tetap hidup di hasil pencarian Google, terus menghantui bahkan setelah seseorang sudah berubah. Tidak ada kesempatan untuk benar-benar memulai dari nol. Bahkan ketika seseorang berusaha memperbaiki diri, data masa lalunya tetap menjadi warisan yang terus membayanginya. Dalam dunia di mana informasi bergerak lebih cepat daripada klarifikasi, kebenaran tak lagi relevan. Yang penting adalah siapa yang lebih dulu mengambil alih narasi. Cancel culture berfungsi sebagai hakim yang kejam, sementara big data menjadi kuburan digital yang tak memberi kesempatan untuk bangkit kembali.

Dunia tanpa pengampunan bukan sekadar dunia yang tak adil, tetapi juga dunia yang kehilangan esensi kemanusiaannya. Pengampunan selalu menjadi bagian penting dari peradaban, dari sistem moral dan hukum yang memungkinkan manusia berkembang. Agama, filsafat, bahkan norma sosial selama berabad-abad mengajarkan bahwa manusia bisa berubah. Bahwa kesalahan adalah bagian dari proses menjadi lebih baik. Tapi di dunia digital, konsep ini semakin terkikis.

Konsekuensinya jelas. Ketakutan menggantikan kebebasan. Orang lebih memilih diam daripada berisiko salah. Ruang publik dipenuhi suara-suara yang "aman", sementara yang kompleks dan kontroversial dikubur oleh algoritma yang lebih memilih stabilitas daripada diskusi. Kita menciptakan generasi yang terlalu takut untuk berbicara, terlalu waspada untuk berpikir, dan terlalu khawatir untuk belajar dari kesalahan. Jika di dunia nyata orang bisa bertumbuh dan berubah, di dunia digital seseorang hanya sebaik rekam jejaknya yang paling buruk.

Jika dunia digital semakin tak mengenal ampun, maka pertanyaannya adalah: bagaimana kita bertahan? Haruskah kita menerima ini sebagai keniscayaan, atau masih ada jalan keluar? Haruskah kita membiarkan algoritma menentukan siapa yang berhak atas kesempatan kedua? Ataukah kita yang harus merebut kembali kendali atas narasi digital kita sendiri?

Cancel culture dan big data telah menciptakan dunia yang lebih kejam dari yang pernah kita bayangkan. Tapi jika sejarah mengajarkan sesuatu, maka setiap kiamat selalu diikuti oleh kelahiran kembali. Jika ini adalah "kiamat reputasi", maka tugas kita adalah membangun dunia baru di mana manusia kembali diberikan hak untuk berubah. Jika tidak, kita bukan hanya kehilangan keadilan, tetapi juga kehilangan sisi manusiawi kita sendiri.