selamat datang peziarah digital
Dajjal Digital, Deepfake Propaganda di Era Post-Truth
Suatu hari, Riva, seorang pegawai kantoran yang aktif di media sosial, melihat sebuah video pidato seorang pejabat tinggi yang berisi pernyataan kontroversial tentang kebijakan ekonomi. Tanpa berpikir panjang, ia membagikan video tersebut di grup WhatsApp keluarganya dan menambahkan komentar yang bernada geram. "Ini bukti kalau
3/27/20254 min read
Suatu hari, Riva, seorang pegawai kantoran yang aktif di media sosial, melihat sebuah video pidato seorang pejabat tinggi yang berisi pernyataan kontroversial tentang kebijakan ekonomi. Tanpa berpikir panjang, ia membagikan video tersebut di grup WhatsApp keluarganya dan menambahkan komentar yang bernada geram. "Ini bukti kalau pejabat kita benar-benar tidak peduli dengan rakyat kecil!" tulisnya.
Beberapa jam kemudian, Riva mendapat pesan dari temannya yang bekerja di bidang media. "Bro, itu video editan. Pidato aslinya beda, ini cuma potongan yang sengaja dimanipulasi." Riva terkejut dan merasa bersalah. Namun, saat ia mencoba menarik kembali pesan yang sudah dikirim, berita itu sudah menyebar ke banyak orang. Ada yang membagikannya lebih jauh, ada yang marah, dan ada yang bahkan mulai menyerang pejabat tersebut di media sosial. Dunia digital telah melahirkan realitas baru yang semakin sulit dibedakan antara yang nyata dan yang palsu.
Teknologi deepfake, propaganda digital, dan fenomena post-truth telah menciptakan ilusi yang menyesatkan, di mana kebohongan dapat dikemas sebagai kebenaran dan kebenaran dapat disingkirkan sebagai kebohongan. Ini adalah era di mana manipulasi informasi menjadi senjata utama dalam membentuk opini publik dan mengontrol persepsi masyarakat. Dalam konteks eskatologi digital, fenomena ini dapat dianggap sebagai manifestasi dari "Dajjal Digital"—sebuah entitas yang menipu, mengaburkan batas antara realitas dan ilusi, serta mengendalikan dunia melalui narasi yang dibuat-buat.
Teknologi deepfake telah berkembang pesat, memungkinkan pembuatan video dan audio yang sangat meyakinkan, tetapi sepenuhnya palsu. Wajah seseorang bisa dimanipulasi agar tampak mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak pernah terjadi. Dalam beberapa kasus, deepfake digunakan untuk hiburan, tetapi lebih sering ia menjadi alat kejahatan, propaganda politik, dan penghancuran reputasi.
Kasus nyata yang mengguncang dunia adalah video deepfake mantan Presiden AS Barack Obama yang dibuat oleh Jordan Peele untuk menunjukkan betapa mudahnya memanipulasi video. Video ini memperlihatkan Obama mengucapkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah ia katakan, hanya dengan mengandalkan teknologi kecerdasan buatan. Di India, video deepfake digunakan dalam kampanye politik untuk memungkinkan seorang kandidat berbicara dalam beberapa bahasa sekaligus, menciptakan ilusi keakraban dengan berbagai kelompok pemilih.
Di Indonesia, kasus deepfake juga mulai bermunculan, dari penyebaran konten pornografi berbasis AI yang menargetkan figur publik hingga manipulasi pidato pejabat negara untuk menggiring opini tertentu. Dampak dari teknologi ini sangat berbahaya, karena publik sulit membedakan antara yang asli dan yang palsu, menyebabkan ketidakpercayaan terhadap semua bentuk media.
Algoritma media sosial bekerja dengan cara memperkuat narasi yang paling menguntungkan secara bisnis, bukan yang paling benar. Akibatnya, informasi yang disebarkan bukanlah yang paling akurat, tetapi yang paling menarik perhatian dan memicu keterlibatan pengguna.
Propaganda digital memanfaatkan teknologi ini untuk menciptakan realitas alternatif. Salah satu contohnya adalah bagaimana Rusia menggunakan troll farm dalam pemilu AS 2016 untuk mempengaruhi opini publik melalui ribuan akun media sosial yang menyebarkan berita palsu. Di Indonesia, propaganda digital juga telah menjadi senjata utama dalam politik, dengan buzzer bayaran yang bertugas menggiring opini publik melalui narasi yang sudah disusun secara strategis.
Kasus yang cukup terkenal di Indonesia adalah operasi informasi yang dilakukan dalam berbagai pemilihan umum. Ribuan akun anonim dikerahkan untuk menyerang lawan politik, menyebarkan hoaks, dan menciptakan kesan bahwa opini publik mengarah ke arah tertentu, padahal sebenarnya telah direkayasa.
Post-Truth: Kebenaran yang Ditentukan oleh Massa
Era post-truth adalah saat di mana fakta tidak lagi menjadi dasar utama dalam membentuk opini publik. Sebaliknya, emosi dan kepercayaan personal lebih berperan dalam menentukan kebenaran seseorang. Apa yang diyakini oleh mayoritas sering kali dianggap lebih valid daripada data atau bukti yang sesungguhnya.
Fenomena ini sangat terlihat dalam berbagai kasus hoaks yang menyebar luas di media sosial. Sebagai contoh, ketika pandemi COVID-19 melanda dunia, teori konspirasi mengenai vaksin menyebar lebih cepat daripada informasi ilmiah. Masyarakat lebih percaya pada narasi yang sesuai dengan ketakutan mereka, bukan pada penelitian yang telah diverifikasi.
Fenomena post-truth merujuk pada situasi di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih mempengaruhi opini publik daripada fakta objektif. Dalam era post-truth, kebenaran dan kebohongan bisa duduk sejajar, tergantung pada narasi yang lebih kuat dan mampu memengaruhi perasaan orang. Faktanya, informasi yang terdistorsi, meskipun jelas tidak benar, dapat tetap dipercaya oleh banyak orang jika ia disajikan dengan cara yang menarik atau sesuai dengan keyakinan mereka. Pada akhirnya, yang sering "menang" dalam pergulatan narasi politik atau isu apapun adalah bukan kebenaran yang berbasis fakta, melainkan narasi yang paling menggugah emosi dan paling banyak disebarluaskan.
Istilah post-truth pertama kali diperkenalkan oleh Steve Tesich**, seorang penulis asal Amerika, pada tahun 1992. Dalam esainya yang berjudul "The Post-Truth Era", Tesich mengkritik kebohongan dan manipulasi yang terjadi dalam politik, terutama dalam konteks peristiwa seperti Perang Teluk. Ia menyoroti bagaimana kebohongan yang diterima sebagai kenyataan oleh publik membuat masyarakat lebih mudah dipengaruhi oleh narasi yang tidak berbasis pada fakta.
Dalam konteks Pilpres Indonesia, fenomena post-truth sangat relevan karena sering munculnya berita palsu (hoaks) yang mendistorsi kenyataan. Beberapa isu yang mencuat di Pilpres 2019, seperti tuduhan mengenai identitas agama calon presiden, atau klaim mengenai kecurangan pemilu (seperti surat suara yang tercoblos), merupakan contoh konkret bagaimana informasi yang tidak berdasar bisa mempengaruhi keputusan politik masyarakat.
Misalnya, salah satu hoaks besar yang beredar di Pilpres 2019 adalah klaim mengenai "penggantian surat suara" yang dianggap dicoblos oleh pihak tertentu. Meskipun hal ini dibantah oleh pihak yang berwenang dan bukti-bukti tidak mendukung klaim tersebut, banyak orang tetap mempercayainya. Di sini, kita bisa melihat bagaimana post-truth bekerja: meskipun ada fakta yang mengingkari narasi tersebut, banyak orang memilih untuk mempercayai apa yang lebih menggetarkan emosi mereka, yakni ketakutan terhadap kecurangan pemilu.
Di era post-truth, kebenaran bukan lagi satu-satunya parameter yang menentukan validitas suatu klaim. Narasi yang paling banyak didukung, atau yang paling menggugah perasaan dan ketakutan orang, lebih sering menjadi pemenang dalam pergulatan opini publik. Isu yang seharusnya bisa diselesaikan dengan pemahaman berbasis fakta, malah sering kali berkembang menjadi perdebatan yang lebih berfokus pada siapa yang mampu lebih kuat memanipulasi emosi dan persepsi publik.
Fenomena ini mengarah pada sebuah pertanyaan besar: apakah kita bisa benar-benar terlepas dari dunia post-truth ini, di mana kebenaran objektif dan fakta sering kali kalah dengan narasi emosional dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya? Ini menjadi tantangan besar dalam dunia politik dan media sosial modern, di mana misinformasi dengan mudah tersebar, bahkan tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Dajjal dalam berbagai tradisi agama digambarkan sebagai entitas yang membawa fitnah besar, menipu manusia dengan ilusi yang tampak nyata. Dalam dunia digital, Dajjal ini hadir dalam bentuk manipulasi informasi yang membuat masyarakat sulit membedakan mana yang benar dan mana yang rekayasa.
Dengan semakin majunya kecerdasan buatan dan teknik manipulasi digital, kita memasuki era di mana setiap informasi bisa dipelintir sesuai kepentingan tertentu. Kebenaran tidak lagi ditentukan oleh fakta, tetapi oleh siapa yang memiliki kendali atas algoritma dan jaringan informasi.
Di dunia yang semakin dikuasai oleh Dajjal Digital, tantangannya adalah bagaimana kita bisa tetap berpikir kritis dan tidak mudah terjebak dalam perangkap manipulasi informasi. Tanpa kesadaran akan bahaya ini, kita hanya akan menjadi pion dalam permainan besar yang dikendalikan oleh mereka yang memahami cara kerja sistem ini lebih baik daripada kita.