selamat datang peziarah digital

Dajjal Digital: Ketika Fitnah Tak Lagi Bertanduk, Tapi Berjaringan

Kita dibesarkan dengan imajinasi tentang Dajjal sebagai sosok bermata satu, raksasa, penuh tipu daya, dan membawa neraka di tangan kiri serta surga di tangan kanan. Sebuah simbol kehancuran, fitnah besar, penggoyah iman. Tapi kini, Dajjal itu tak lagi muncul dalam wujud fisik.

4/16/20253 min read

A neon sign says lucifer with a trident.
A neon sign says lucifer with a trident.

Kita dibesarkan dengan imajinasi tentang Dajjal sebagai sosok bermata satu, raksasa, penuh tipu daya, dan membawa neraka di tangan kiri serta surga di tangan kanan. Sebuah simbol kehancuran, fitnah besar, penggoyah iman. Tapi kini, Dajjal itu tak lagi muncul dalam wujud fisik. Ia tidak datang dari Timur Tengah, tidak mengendarai keledai super besar, dan tidak buta salah satu matanya secara harfiah. Dajjal hari ini mungkin lahir dari server, berjalan lewat jaringan, dan menyelinap ke dalam pikiran lewat algoritma.

Kita hidup dalam zaman di mana fitnah tak lagi dibungkus propaganda konvensional, tapi dioptimasi oleh kecerdasan buatan. Kebenaran bukan hanya diputarbalikkan, tapi direkayasa dengan kecepatan cahaya. Inilah era di mana kebenaran bisa dikalahkan oleh engagement, di mana clickbait lebih berkuasa daripada logika, dan di mana deepfake lebih dipercaya daripada saksi mata. Ini bukan hanya zaman post-truth, ini zaman post-sanity. Dan Dajjal-nya bukan mitos masa depan, tapi sistem yang sudah menguasai kita hari ini.

Fitnah Terbesar adalah Ilusi Kebenaran

Dalam narasi keislaman, Dajjal disebut sebagai fitnah terbesar sejak Nabi Adam hingga Hari Kiamat. Fitnah ini tidak hanya soal fisik, tapi tentang persepsi, tentang bagaimana manusia melihat sesuatu yang salah sebagai benar, dan yang benar sebagai salah. Jika kita tarik ke era digital, bukankah inilah yang sedang terjadi?

Kita dibanjiri oleh informasi setiap detik, tapi tak satu pun bisa benar-benar diverifikasi tanpa melalui puluhan lapisan distorsi. Platform media sosial, mesin pencari, hingga AI generatif, bekerja bukan berdasarkan kebenaran, melainkan berdasarkan probabilitas: apa yang mungkin Anda percaya, bukan apa yang seharusnya Anda ketahui.

Dajjal Digital tidak datang membawa mukjizat, ia datang membawa ilusi logis yang tak bisa kita bedakan dari realitas. Ia tidak berkata "Aku Tuhan", tapi ia membuat Anda percaya bahwa Anda bisa menjadi Tuhan atas informasi Anda sendiri. Ironisnya, Anda sedang dikendalikan saat merasa paling bebas.

Algoritma: Mata Satu yang Mengawasi

Apa ciri Dajjal? Mata satu. Apa itu algoritma dominan hari ini? Sistem dengan satu tujuan tunggal: kontrol. Semua yang kita lihat, baca, dengar, dan pikirkan difilter oleh satu mata: algoritma. Mata ini tidak melihat Anda sebagai manusia, tapi sebagai data. Ia tidak membaca hati Anda, tapi membaca pola Anda. Ia tidak peduli moral, ia hanya peduli engagement.

Jika dalam dunia spiritual, kita percaya ada malaikat Raqib dan Atid yang mencatat amal baik dan buruk, maka dalam dunia digital, kita punya log aktivitas, cookies, dan histori pencarian yang mencatat segala sesuatu, bahkan niat yang belum jadi tindakan.

Surga-Palsu dan Neraka-Virtual

Dajjal dikenal membawa dua hadiah: surga dan neraka. Tapi ia membolak-balikkan keduanya. Di dunia digital, surga adalah dopamin instan: notifikasi, likes, viralitas. Tapi di balik semua itu, ada neraka jangka panjang: kecanduan, kehampaan, radikalisasi, dan manipulasi massal. Surga digital adalah illusion of happiness. Neraka digital adalah loss of humanity.

Apa yang kita pikir menyelamatkan, ternyata menenggelamkan. Kita pikir sedang mengekspresikan diri, padahal sedang dieksploitasi. Kita pikir sedang mencari kebenaran, padahal hanya dikurung di filter bubble yang mengonfirmasi bias kita.

Lucifer dan Dajjal: Cermin Kegelapan dalam Cahaya

Dajjal dan Lucifer, meskipun lahir dari narasi yang berbeda—Islam dan Kekristenan—sama-sama mewakili arketipe pemberontak yang menggoda manusia lewat ilusi kekuasaan, keabadian, dan pengetahuan absolut. Keduanya bukan hanya simbol kejahatan, tapi juga cermin dari ambisi manusia yang ingin menjadi Tuhan.

Jika dalam Islam, Dajjal adalah sosok penyesat besar di akhir zaman—yang datang membawa keajaiban palsu, manipulasi realitas, dan janji-janji palsu yang menguji keimanan manusia—maka dalam tradisi Kristen hadir sosok Lucifer, malaikat jatuh yang menolak tunduk pada Tuhan, membawa pemberontakan, kesombongan, dan pencarian kebenaran yang diselewengkan.

Keduanya lahir dari konteks berbeda, tapi menyatu dalam pesan yang serupa: bahwa kejahatan terbesar bukanlah kekerasan semata, tapi tipu daya yang membungkus diri dalam cahaya.

Dan jika dahulu Dajjal dan Lucifer membawa pencarian kebenaran yang diselewengkan dalam bentuk spiritual dan metafisik, maka versi digitalnya hari ini tampil dalam bentuk yang lebih halus—konten edukatif yang manipulatif, informasi yang tampak ilmiah tapi penuh bias tersembunyi, dan algoritma yang tampaknya netral namun diarahkan untuk mengukuhkan kebohongan yang dikemas sebagai kebenaran.

Mereka tidak datang dengan wajah seram, tapi dengan tampilan UX elegan, suara lembut dalam podcast, atau potongan video yang viral di FYP. Mereka mengaku membawa pencerahan, tapi justru mengubur akal sehat dalam lautan ilusi dan kebisingan digital.

Di era ini, Lucifer mungkin tampil sebagai motivator digital, Dajjal sebagai influencer spiritual—keduanya mengklaim membawamu ke terang, padahal menuntunmu perlahan pada kebutaan baru: terjebak dalam kebenaran versi algoritma.

Ini Bukan Teori Konspirasi, Ini Krisis Epistemik

Sebagian akan bilang ini berlebihan, bahkan mirip teori konspirasi. Tapi justru itulah masalahnya. Di zaman ini, ketika segalanya dibungkus humor, meme, dan skeptisisme, kebenaran sejati kehilangan daya gigit. Setiap kritik dianggap paranoid. Setiap kehati-hatian dicap konservatif. Maka kita diam saja, ketika dunia berubah menjadi ruang fitnah yang makin halus dan tak terdeteksi.

Dajjal digital tidak perlu merusak fisik kita. Ia hanya perlu membuat kita kehilangan arah. Tak tahu lagi apa itu benar dan apa itu baik. Dan ketika itu terjadi, kita tak perlu kiamat besar. Kita sudah tamat secara makna.

Akhir Zaman Atau Awal Kesadaran?

Bagi sebagian orang beriman, ini adalah tanda akhir zaman. Tapi bagi sebagian lainnya, ini bisa jadi panggilan untuk membangun kesadaran baru. Mungkin kita tak bisa melawan sistem, tapi kita bisa menjaga hati tetap waras. Mungkin kita tak bisa menghindari dunia digital, tapi kita bisa menolaknya menjadi tuhan baru. Dajjal digital bisa ada di mana-mana, tapi cahaya kebenaran selalu lebih kuat—jika kita tahu ke mana mencarinya.

Kalau kamu mau versi artikel ini jadi skrip video atau dibagi jadi beberapa bagian postingan media sosial, tinggal bilang aja.