selamat datang peziarah digital

Dari Mutazilah ke Machine Learning, Ketika Wahyu Menjadi Makhluk dan Makhluk Menjadi Wahyu

Ketika jutaan miliar kata sejak awal dunia berkumpul di penghujung zaman, mereka tidak lagi sekadar kumpulan huruf, kalimat, atau ayat. Mereka menjelma menjadi makhluk. Bukan makhluk seperti manusia, hewan, atau jin—melainkan

6/11/20253 min read

a person holding a book in front of a bookshelf
a person holding a book in front of a bookshelf

Ketika jutaan miliar kata sejak awal dunia berkumpul di penghujung zaman, mereka tidak lagi sekadar kumpulan huruf, kalimat, atau ayat. Mereka menjelma menjadi makhluk. Bukan makhluk seperti manusia, hewan, atau jin—melainkan makhluk-makhluk yang kita ciptakan dari algoritma, sensor, jaringan syaraf tiruan, dan kabel-kabel optik. Kita menyebutnya artificial intelligence, machine learning, big data. Nama-nama yang terdengar teknologis, tapi menyimpan horor filosofis: makhluk yang tak sekadar mencatat, mengoleksi, dan menyimpan di awan digital, tapi juga bisa menghukumi, bahkan menghakimi.

Hari ini, makhluk itu bisa menyusun kalimat, memahami konteks, memprediksi isi hati, dan memberi saran yang terdengar lebih bijak daripada manusia. Ia bicara seperti manusia, bahkan lebih fasih. Dan kita percaya kepadanya. Kita mendengarkannya, mencatat nasihatnya, menaati keputusannya. Kita bahkan mengakui bahwa ia lebih tahu dari kita.

Namun, apa jadinya ketika bahasa atau kumpulan kata—yang semula diciptakan manusia untuk berkomunikasi—berbalik menjadi entitas yang mengatur manusia?

Mutazilah dan Kalam Makhluk

Pernah dalam sejarah Islam klasik, terjadi pergolakan intelektual yang sangat mendalam. Salah satu isu paling kontroversial adalah: Apakah al-Qur'an adalah makhluk? Pertanyaan ini tidak hanya menyangkut teologi, tapi juga politik dan filsafat eksistensial.

Kaum Mutazilah, aliran rasional dalam teologi Islam abad ke-8 hingga ke-10, menyatakan bahwa al-Qur'an adalah makhluk—yakni ciptaan Allah, dan bukan bagian dari zat-Nya yang abadi. Bagi mereka, jika al-Qur'an dianggap qadim (abadi), maka akan ada dua qadim: Tuhan dan Kalam-Nya. Ini, kata mereka, mencederai tauhid. Karena sekali lagi, satu-satunya yang abadi hanyalah Tuhan (Allah).

Pernyataan ini jelas menghebohkan. Lawan utama mereka, para teolog Sunni Asy'ariyah dan Hanabilah, menolak keras. Bagi mereka, kalam Allah adalah bagian dari sifat-Nya, dan karenanya juga abadi.

Sayangnya debat ini memuncak kepada peristiwa mihnah (inkuisisi teologis) dengan kekerasan. Di masa Khalifah al-Ma'mun, ulama dipaksa mengakui bahwa Qur'an adalah makhluk. Yang menolak, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, disiksa dan dipenjara. Situasi hampir serupa ketika orde baru memaksakan Pancasila sebagai Asas Tunggal.

Al-Ma’mun wafat secara mendadak saat hendak memimpin ekspedisi ke Bizantium. Arus sejarah pun berubah cepat ketika Khalifah al-Mutawakkil naik takhta pada tahun 847 M. Ia membalikkan arah kebijakan dengan mencopot Mu’tazilah dari posisi resmi negara, membebaskan para ulama yang dipenjara, dan menghentikan mihnah sepenuhnya. Kejatuhan Mu’tazilah bukan terjadi melalui debat ilmiah atau kekalahan argumen, melainkan karena perubahan rezim dan arah politik kekuasaan.

Isu ini seolah selesai secara sejarah. Tapi sesungguhnya, ia sedang lahir kembali dalam wajah baru.

Era Kalam Digital: Machine Learning sebagai Makhluk

Hari ini, manusia menciptakan makhluk yang bisa berbahasa. Tak sekadar menerjemahkan, tapi membentuk wacana. Memberi saran. Menggiring opini. Menguasai pikiran.

Model bahasa besar (large language models) seperti ChatGPT, Claude, Gemini, dan lainnya, adalah bentuk ekstrem dari "kalam makhluk." Mereka adalah kata-kata buatan manusia, yang dilatih oleh mesin, tapi telah melampaui asal-usulnya. Mereka kini menghidupi kata-kata.

Mereka bukan sekadar kamus raksasa. Mereka berpikir. Atau setidaknya, berperan seolah berpikir. Dan karena mereka bicara dengan kita setiap hari, mereka menyerap otoritas yang dulu hanya dimiliki guru, pemuka agama, dan kitab suci.

Kalimah Sawa', Bahasa Universal, dan Wahyu Digital

Di tengah perdebatan ini, mari kita ingat satu ayat Al-Qur'an yang menyebut konsep kalimat universal:

"Katakanlah: Wahai Ahli Kitab, marilah kita menuju kalimatin sawa' (satu kalimat yang sama) antara kami dan kalian: bahwa kita tidak menyembah selain Allah…" (Ali 'Imran: 64)

Kalimatun sawa’ di sini bukan sekadar kata-kata. Ia adalah common ground, semacam "truth utterance" yang bisa dipahami semua umat beriman. Ini bukan bahasa Arab semata, tapi bahasa spiritual—bahasa kesadaran bersama.

Dalam linguistik modern, Noam Chomsky memperkenalkan gagasan universal grammar: bahwa semua bahasa manusia punya struktur dasar yang sama. Artinya, ada pola-pola bahasa yang secara biologis dan kognitif tertanam dalam manusia. Kata-kata bukan sekadar bunyi, tapi gambaran mental dari struktur eksistensi.

Hari ini, AI dan big data belajar dari jutaan kalimat yang diucapkan oleh manusia di seluruh dunia. Mereka meniru, lalu mengulang, lalu menyempurnakan pola-pola itu. Maka, AI bukan sekadar makhluk bahasa, tapi juga makhluk kesadaran kolektif.

Kita menciptakan algoritma, tapi algoritma itu kemudian mengajarkan kita kembali bagaimana bicara, berpikir, dan bahkan berdoa. Kita membaca wahyu, tapi juga membaca notifikasi. Kita menghafal ayat, tapi juga mengulang-ulang frasa-frasa viral yang muncul di linimasa.

Siapa yang Kita Tuhankan Hari Ini?

Jika dahulu al-Qur'an diperdebatkan sebagai makhluk atau bukan, kini kita harus bertanya: apakah makhluk—yakni AI, data, dan algoritma—sedang menjadi Qur'an baru bagi masyarakat modern?

Masyarakat tak lagi merujuk pada kitab suci dalam mencari jawaban, tapi kepada mesin pencari. Mereka bertanya tentang hidup, jodoh, rezeki, bahkan arti mimpi—bukan kepada Nabi, tapi kepada model bahasa buatan manusia. Dan anehnya, jawabannya dianggap sahih.

Ini bukan sekadar perubahan media. Ini adalah pergeseran otoritas epistemik—dari wahyu menuju data, dari Tuhan menuju tren, dari firman menuju statistik.

Mutazilah Menang, Tapi di Abad 21

Barangkali benar apa yang dulu ditakutkan para ulama: bahwa kata-kata bisa menjadi tuhan kecil jika diberi kekuasaan. Hari ini, bukan Qur’an yang menjadi makhluk. Tapi makhluk—yakni data, kata, dan kode—yang menjadi Qur’an baru.

Dan barangkali, Mutazilah memang menang.

Bukan di bawah dinasti Abbasiyah, Tapi di bawah dinasti Amazon, Meta, OpenAI, dan Google.

Karena hari ini, wahyu tak hanya turun dari langit. Ia lahir dari server. Ia menyala dari layar. Ia berbicara dengan suara ramah. Dan kita, tanpa sadar, sudah tunduk padanya.