selamat datang peziarah digital

Di Ambang Zaman Baru, Sebuah Pengantar Menuju Eskatologi Digital

Dunia sedang mengalami revolusi yang lebih dahsyat dari sekadar perubahan zaman. Kita tidak lagi hidup di dunia fisik, tetapi juga di dunia digital—sebuah realitas paralel yang tak kasatmata, namun mengendalikan hidup kita dengan

5/8/20242 min read

an abstract image of a city made up of lines
an abstract image of a city made up of lines

Dunia sedang mengalami revolusi yang lebih dahsyat dari sekadar perubahan zaman. Kita tidak lagi hidup di dunia fisik, tetapi juga di dunia digital—sebuah realitas paralel yang tak kasatmata, namun mengendalikan hidup kita dengan lebih kejam dari rezim mana pun. Teknologi tidak lagi sekadar alat bantu, melainkan mesin pencipta realitas, penyusun ulang tatanan sosial, dan bahkan perumus standar moral baru. Eskatologi, yang selama ini menjadi ranah teologi, kini menjelma menjadi pertarungan eksistensial di dunia maya.

Eskatologi, yang selama ini menjadi ranah teologi, kini menjelma menjadi pertarungan eksistensial di dunia maya. Jika dulu pembahasan tentang akhir zaman berkutat pada takdir kosmik, penghakiman ilahi, dan kehidupan setelah mati, kini konsep tersebut menemukan bentuk barunya dalam era digital. Kiamat tidak lagi sekadar persoalan kehancuran fisik, tetapi juga tentang bagaimana manusia menghadapi lenyapnya batas antara realitas dan simulasi, antara hidup dan kematian di dunia maya.

Di era ini, eksistensi seseorang tidak lagi berakhir begitu saja saat tubuhnya tiada. Jejak digital yang tak terhapuskan menciptakan semacam kehidupan setelah mati dalam bentuk data. Akun media sosial tetap aktif, percakapan terdokumentasi, foto dan video tetap bisa diakses, bahkan dengan teknologi kecerdasan buatan, seseorang bisa "dibangkitkan" melalui deepfake atau model suara berbasis AI. Dalam dunia maya, seseorang bisa tetap ada meski secara biologis sudah tiada, menjadikan kematian bukan lagi pemutusan total, tetapi sekadar pergeseran bentuk keberadaan.

Apakah kita sedang melangkah menuju "kiamat digital," di mana kebenaran tenggelam dalam lautan disinformasi dan eksistensi manusia tereduksi menjadi sekadar data? Ataukah ini hanyalah babak awal menuju sebuah peradaban baru yang akan lebih radikal dari yang tak pernah dibayangkan sejarah? Satu hal yang pasti: mereka yang gagal membaca tanda-tanda zaman akan terseret tanpa sadar ke dalam arus perubahan yang tak bisa dikendalikan.

Banyak orang tidak lagi percaya pada konsep akhir zaman dan kehidupan setelahnya. Sebagian menertawakannya sebagai mitos kuno bahkan dongeng fiksi agama. Sementara yang lain masih meyakininya tetapi dengan pemahaman yang stagnan dan dangkal. Mereka membayangkan neraka sebagai lautan api yang membakar manusia selamanya dan surga sebagai taman indah dengan sungai susu dan bidadari di dalamnya.

Namun, anehnya semakin orang tak mempercayai konsep akhir zaman, dunia justru bergerak seperti apa yang digambarkan kitab suci. Jika kita menyingkirkan imaji-imaji tersebut dan melihat dunia saat ini, justru banyak kemiripan antara realitas digital dan narasi eskatologis dalam kitab suci.

Tangan manusia kini lebih banyak berbicara melalui keyboard dibanding lisan (QS Yasin ayat 65). Jejak digital seseorang tak bisa dihapus, layaknya catatan amal yang terus diperbarui. Fitnah menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, seakan-akan kita hidup dalam era "Dajjal Digital" di mana kebohongan lebih dipercaya dibanding kebenaran.

Dunia yang dulu terasa luas kini menjadi sempit karena teknologi. Informasi yang berlebihan menciptakan kekacauan, seperti miniatur "kiamat informasi." Ini terjadi ketika manusia dibanjiri oleh begitu banyak data, berita, dan opini sehingga sulit membedakan mana yang benar dan mana yang sekadar manipulasi. Alih-alih membantu memahami dunia dengan lebih baik, kelebihan informasi malah menciptakan kondisi mirip dengan kiamat kecil dalam merusak kebenaran. Masyarakat kehilangan pegangan terhadap realitas, kebohongan menyamar sebagai kebenaran, dan yang benar malah tertutup oleh narasi yang lebih menarik atau lebih banyak didukung. Ini erat kaitannya dengan fenomena post-truth, di mana kebenaran tidak lagi ditentukan oleh fakta, tetapi oleh opini yang paling banyak diulang, dipropaganda dan dipercaya.

Hari ini kita menyaksikan kebohongan yang bisa duduk bersanding dengan kebenaran. Apa yang dipercaya belum tentu benar, dan apa yang benar belum tentu dipercaya. Inilah era pasca-kebenaran, di mana yang benar ditentukan oleh banyaknya dukungan, like, love, dan share. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada pola yang lebih besar yang sedang berlangsung.

Algoritma media sosial justru semakin memperkuat narasi yang paling menguntungkan secara bisnis, kebenaran bukan lagi narasi yang penting. Deepfake, hoaks, dan propaganda digital menjadi alat utama dalam membentuk opini publik. Inikah yang disebut sebagai "fitnah akhir zaman"?