selamat datang peziarah digital

Doa dan AI: Model Bahasa Mana yang Lebih Mengerti Manusia?

Ada saat di mana manusia tak mampu lagi bicara. Kata-kata di kepala kita macet, dada penuh sesak, dan jari-jari tak sanggup menulis. Pada saat seperti itu, sebagian orang kini membuka ChatGPT, berharap AI bisa merumuskan isi hati yang tak sempat dirumuskan. Tapi jauh sebelum itu semua, manusia sudah punya bahasa yang lebih tua dari teknologi manapun yakni:

4/26/20252 min read

silhouette of praying man
silhouette of praying man

Ada saat di mana manusia tak mampu lagi bicara. Kata-kata di kepala kita macet, dada penuh sesak, dan jari-jari tak sanggup menulis. Pada saat seperti itu, sebagian orang kini membuka ChatGPT, berharap AI bisa merumuskan isi hati yang tak sempat dirumuskan. Tapi jauh sebelum itu semua, manusia sudah punya bahasa yang lebih tua dari teknologi manapun yakni: doa.

Doa adalah model bahasa paling purba dan paling pribadi. Ia tidak disusun oleh kecerdasan buatan, melainkan oleh kecerdasan batin. Doa adalah algoritma kesadaran manusia yang mengandung luka, harapan, ketakutan, dan pengakuan. Ketika manusia kehilangan arah, kehilangan kata, kehilangan daya, doa menjadi satu-satunya kalimat yang masih bisa diucapkan—meski hanya dalam hati.

AI hadir sebagai model bahasa modern yang menakjubkan. Ia bisa meniru cara bicara kita, menyusun kalimat dengan logika dan kecepatan luar biasa. Dalam hitungan detik, AI bisa menulis pidato, puisi, bahkan doa, lengkap dengan diksi-diksi puitis yang mungkin tak terpikirkan oleh si pemilik luka itu sendiri. Tapi satu hal yang tak bisa dilakukan AI: ia tidak benar-benar merasakan.

AI bukan manusia. Ia hanya memodelkan bahasa manusia. Ia tidak punya pengalaman kehilangan, tidak pernah gelisah di malam hari, tidak tahu rasanya mencintai tanpa dibalas, tidak mengerti air mata yang jatuh tanpa alasan. AI hanya tahu bahwa jika ada kata “kehilangan” maka seringkali kata “sedih” akan menyertainya. Tapi itu semua statistik. Bukan rasa.

Doa tidak bekerja seperti itu. Doa tidak meniru bahasa—ia menciptakan bahasa. Bahasa yang keluar dari relung jiwa terdalam, yang tidak selalu teratur, tidak selalu puitis, bahkan kadang sangat berantakan. Tapi justru di situlah kekuatannya. Doa adalah parole parlante dalam bentuk paling utuhnya—ia tidak sekadar diucapkan, tapi dialami, diresapi, bahkan seringkali dilahirkan dalam tangisan.

Al-Qur’an sendiri adalah bentuk paling puncak dari model bahasa spiritual. Ayat-ayatnya tidak hanya memuat makna, tapi juga ritme, susunan, keindahan bunyi, dan resonansi batin yang bisa menembus manusia hingga ke inti. Kalimat-kalimatnya tidak hanya dibaca, tapi juga dirasakan, direnungkan, dan dihayati. Al-Qur’an, dalam maknanya yang terdalam, adalah perpaduan antara wahyu dan puisi, antara keindahan dan kebenaran. Sesuatu yang bahkan AI paling mutakhir belum bisa mendekatinya, apalagi menandinginya.

Jika AI adalah hasil dari akal kolektif manusia, maka doa adalah hasil dari kesadaran kolektif manusia terhadap keterbatasannya. Doa adalah pengakuan bahwa kita tidak cukup kuat, tidak cukup pintar, tidak cukup bijak. Dan justru dalam pengakuan itu, bahasa paling jujur lahir.

Maka ketika kita bertanya: model bahasa mana yang lebih mengerti manusia? Jawabannya bukan soal siapa yang lebih pintar menyusun kalimat, tapi siapa yang lebih mampu menyentuh inti kita sebagai manusia. AI mungkin bisa meniru kita, tapi hanya doa yang benar-benar bisa mewakili kita.

Dalam filsafat bahasa, Merleau-Ponty membedakan antara parole parlée (bahasa yang diucapkan, kata-kata biasa yang keluar begitu saja) dan parole parlante (bahasa yang hidup, yang mengandung makna eksistensial dan menciptakan makna baru). AI mungkin mampu memproduksi parole parlée dalam jumlah besar—kalimat-kalimat tertata, informatif, dan teknis. Tapi doa, sejatinya, adalah parole parlante—bahasa yang tidak hanya menyampaikan isi, tapi juga menciptakan makna yang tidak terduga, bersifat eksistensial, bahkan penyelamat.

Di zaman ketika mesin sudah fasih berbicara, doa tetap menjadi satu-satunya bahasa yang paling manusiawi.