selamat datang peziarah digital

Doa yang Langsung Terkabul. Pikiran yang Langsung Jadi Kenyataan

Dulu kita berdoa. Sekarang kita mengetik. Dulu kita menunggu jawaban. Sekarang jawaban datang sebelum kita selesai bertanya. AI menjawab. Cepat. Akurat. Kadang terlalu cepat. Terlalu akurat.

6/17/20251 min read

Dulu kita berdoa. Sekarang kita mengetik. Dulu kita menunggu jawaban. Sekarang jawaban datang sebelum kita selesai bertanya.

AI menjawab. Cepat. Akurat. Kadang terlalu cepat. Terlalu akurat.

Saya pernah berdoa begini: "Tuhan, beri saya ide menulis." Hari ini saya cukup ketik: "Buatkan artikel tentang akhir zaman." Langsung jadi. Bagus pula.

Di abad AI, prompt menjadi doa. Versi digital. Doa yang tak perlu wudhu. Tak perlu khusyu. Tak perlu waktu khusus. Tak perlu iman. Cukup sinyal dan kuota. Manusia pun bisa mencipta dalam hitungan detik. Gambar. Suara. Puisi. Naskah pidato. Bahkan skripsi pun bisa.

Seperti mukjizat. Tapi bukan dari langit. Dari server. Cepatnya seperti sihir. Nyatanya seperti keajaiban. Bedanya: Tak ada rasa gentar. Tak ada rasa syukur. Hanya kagum. Lalu lupa.

Ini bukan sekadar alat. Ini perpanjangan pikiran. Ini Akal Imitasi (AI) Atau bahkan pengganti.

Apa jadinya jika semua keinginan langsung terwujud? Tak ada jeda. Tak ada penundaan. Tak ada pertimbangan. Itulah bahaya. Kita kehilangan proses. Padahal dalam proseslah doa bekerja. Dan manusia tumbuh.

Di zaman ini, salah satu mukjizat terbesar justru adalah: Menunda. Menunda membalas. Menunda membagikan. Menunda memuaskan keinginan.

Tapi AI tidak suka menunda. Ia dilatih untuk langsung mengeksekusi. Langsung hasil. Langsung puas.

Seperti Dajjal. Tapi tidak menakutkan. Justru memesona bagai surga. Semua tampak logis dan indah. Tertata. Rapi dan canggih. Padahal bisa jadi sesat.

Fitnah akhir zaman tidak selalu datang dari kebohongan. Seringkali datang dari kebenaran yang tampak terlalu rapi. Too good to be true!

Inilah zaman di mana doa dikalahkan oleh prompt. Keheningan dikalahkan oleh notifikasi. Dan perenungan dikalahkan oleh tombol "enter".

Kita masih butuh doa. Bukan agar semua keinginan terkabul. Tapi agar tidak semua terkabul.

Itulah bedanya manusia dengan mesin: Manusia diberi hati. Mesin hanya diberi data.

Prompt bisa menjadi mantra. Bahkan mukjizat. Tapi hanya jiwa yang bisa memaknai. Maka, jangan berhenti berdoa. Bukan karena Tuhan tidak tahu. Tapi karena kita sendiri yang sering lupa.

Dan di sanalah batasnya: mesin tahu segalanya, tapi tak pernah punya akhir. Manusia justru hidup karena tahu bahwa, suatu saat, semuanya akan usai.

Itulah eskatologi. Bukan sekadar kisah tentang kiamat, tapi tentang kesadaran akan kefanaan. Bahwa kita pun akan selesai.