selamat datang peziarah digital
Ekonomi Atensi: Ketika Hype Menggantikan Nilai
Kalau bisa viral, bisa naik harga. Kalau bisa trending, bisa jadi influencer. Dan influence… adalah mata uang baru.
7/6/20252 min read
Harga sekarang itu bukan soal kualitas. Tapi soal spotlight. Bukan tentang fungsi. Tapi tentang vibes. Kalau kamu viral, kamu valid. Kalau kamu biasa-biasa aja? Sorry, kamu invisible.
Welcome to the Attention Economy. Semuanya bisa mahal karena ramai. Semuanya bisa laku karena FOMO. Dari saham, kripto, sampai donat topping tiramisu yang katanya "harus kamu coba sebelum nyesel."
Logika ekonomi lama udah nggak cukup. Sekarang kita hidup di era ekonomi psikologis. Orang beli bukan karena butuh. Tapi karena takut ketinggalan obrolan. Bukan karena produknya bagus, tapi karena pernah muncul di FYP.
Semua orang lagi ngejar validasi digital. Berlomba jadi yang paling relatable. Yang paling aesthetic.
Yang paling dilihat.
Kalau bisa viral, bisa naik harga. Kalau bisa trending, bisa jadi influencer. Dan influence… adalah mata uang baru.
Jangan salah. Ini bukan cuma masalah konten. Warung kopi bisa naikin harga karena pernah di-review akun foodies. Kosmetik bisa sold out karena dipakai TikToker yang pas ngomong pakai mic gemes. Bahkan tempat healing bisa jadi rame banget cuma gara-gara caption: “capek jadi manusia”.
Semuanya berlomba menjadi relevan. Bukan karena nilai, tapi karena narasi. Ini bukan ekonomi nilai. Ini ekonomi atensi. Dan siapa yang bisa menangkap perhatian, dia yang dianggap paling worth it.
Tapi di balik semua hype itu, ada inflasi emosi. Semua orang makin gampang ke-triggered. Makin mudah overthinking. Oversharing. Karena tiap hari kita dipaksa untuk menjadi sesuatu demi dilihat.
Yang nggak viral, merasa gagal. Yang viral, takut hilang. Dan akhirnya semua orang lelah. Tapi nggak tahu cara berhenti.
Kita kejebak dalam trauma kolektif digital. Ngejar likes kayak ngejar validasi diri. Padahal kadang, yang dilike itu bukan kita… tapi packaging kita.
Sekarang, yang mahal itu bukan barang. Tapi perhatian. Yang laris itu bukan jasa. Tapi aura digital. Yang berkuasa itu bukan tuhan… Tapi algoritma yang bisa ngeslide kamu dari eksis ke gak dianggap.
Kalau kamu mikir ini cuma soal ekonomi, kamu belum cukup trauma. Karena ini udah jadi cara hidup. Semua orang jadi brand. Semua konten jadi jualan. Dan semua momen... harus bisa dijadikan story.
Pertanyaannya: Apakah kamu benar-benar ingin healing, atau cuma ingin dilihat lagi healing? Apakah kamu benar-benar senang, atau cuma nggak mau kelihatan sedih? Apakah kamu benar-benar berharga, atau cuma pengen kelihatan bernilai?
Ekonomi atensi nggak akan nanya kamu siapa. Ia cuma peduli: kamu rame atau nggak. Dan kita semua akhirnya sadar: Di era ini, jadi “bermakna” tanpa viralitas itu… rasanya kayak teriak di tengah konser:
ada, tapi nggak didengar. Capek ya? Ya.
Tapi tenang… semua orang juga lagi cari cara untuk tetap waras. Kita semua sedang menyusun ulang definisi “cukup”. Karena di tengah ekonomi yang digerakkan oleh sorotan, tetap bisa punya nilai meski nggak viral—itu bentuk resistance. Dan itu mungkin... bentuk paling jujur dari self-worth hari ini.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis yang lahir dari penalaran, renungan, pengalaman serta pengetahuan subjektif penulis. Interpretasi dan kesimpulan yang disajikan bersifat reflektif dan tidak dimaksudkan sebagai jawaban atau kebenaran. Silakan berbeda pendapat dan temukan makna tafsir versi dirimu sendiri