selamat datang peziarah digital
Eskatologi Digital, Ketika Netizen Ramai-ramai Menjadi Hakim di Media Sosial
Di era digital, pengadilan tidak lagi membutuhkan ruang sidang, hakim, jaksa, atau pembela. Media sosial telah menciptakan mekanisme penghakiman baru di mana siapa pun dapat menjadi terdakwa, juri, dan eksekutor dalam hitungan detik. Sebuah
3/27/20253 min read
Di era digital, pengadilan tidak lagi membutuhkan ruang sidang, hakim, jaksa, atau pembela. Media sosial telah menciptakan mekanisme penghakiman baru di mana siapa pun dapat menjadi terdakwa, juri, dan eksekutor dalam hitungan detik. Sebuah unggahan, komentar, atau bahkan kesalahpahaman kecil dapat berubah menjadi badai yang menghancurkan reputasi seseorang selamanya.
Kasus yang menimpa Dwi Citra Weni, seorang karyawan PT Timah Tbk, menjadi contoh nyata bagaimana penggunaan media sosial yang tidak bijak dapat berujung pada konsekuensi serius. Pada Februari 2025, Dwi Citra Weni mengunggah video di platform TikTok yang berisi ejekan terhadap pegawai honorer yang menggunakan layanan BPJS Kesehatan. Dalam video tersebut, ia membandingkan dirinya yang tidak perlu mengantre karena statusnya sebagai karyawan PT Timah, sementara pegawai honorer harus mengantre menggunakan BPJS.
Unggahan ini segera viral dan memicu kecaman luas dari masyarakat. Banyak yang menilai bahwa tindakan tersebut tidak menghormati pekerja honorer dan pengguna BPJS pada umumnya. Menanggapi kontroversi ini, PT Timah Tbk melakukan pemeriksaan internal dan memutuskan untuk memberhentikan Dwi Citra Weni dari posisinya. Perusahaan menegaskan bahwa tindakan karyawan tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai dan budaya kerja PT Timah, serta mengimbau seluruh karyawan untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya etika dalam bermedia sosial dan bagaimana tindakan individu di dunia maya dapat berdampak signifikan pada kehidupan profesional dan pribadi mereka. Ini juga menunjukkan bahwa perusahaan semakin memperhatikan perilaku karyawan mereka di ranah digital, mengingat dampaknya terhadap reputasi perusahaan secara keseluruhan.
Contoh nyata lainnya adalah kasus Florence Sihombing di Yogyakarta pada tahun 2014 silam. Hanya karena mengungkapkan kekecewaannya terhadap pelayanan SPBU di media sosial, ia langsung menjadi target kemarahan publik. Kata-katanya dianggap menghina warga Yogyakarta, dan dalam waktu singkat, ia dilaporkan ke polisi, diadili oleh netizen, dan bahkan dikeluarkan dari kampusnya. Kasus ini menunjukkan betapa cepatnya media sosial mengubah ketidaksenangan pribadi menjadi bencana besar.
Florence mengunggah keluhan di akun Path miliknya setelah merasa kecewa dengan pelayanan di sebuah SPBU di Yogyakarta. Dalam unggahannya, ia menulis: "Jogja miskin, tolol, dan tidak berbudaya. Teman-teman Jakarta atau Bandung jangan mau tinggal di Jogja."
Dalam waktu singkat, unggahannya menjadi viral, dan ia mendapat kecaman besar, bahkan dilaporkan atas dugaan pelanggaran UU ITE. Kasus ini menjadi contoh bagaimana jejak digital bisa berakibat serius, terutama dalam konteks budaya dan sensitivitas sosial.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, seorang pria yang sedang dalam penerbangan United Airlines direkam saat ditarik paksa dari kursinya oleh petugas keamanan. Video tersebut viral dan memicu gelombang kemarahan global. United Airlines menerima tekanan besar, sahamnya sempat anjlok, dan mereka akhirnya dipaksa meminta maaf serta memberikan kompensasi. Meskipun dalam kasus ini penghakiman digital menghasilkan keadilan bagi korban, mekanisme yang sama juga bisa dengan mudah digunakan untuk menghancurkan seseorang yang sebenarnya tidak bersalah.
Kasus lain yang lebih kompleks terjadi pada Baiq Nuril. Kasus ini menjadi salah satu contoh bagaimana hukum bisa berbenturan dengan keadilan dalam konteks digital.
Baiq Nuril, seorang perempuan pegawai honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, menjadi korban ketidakadilan setelah ia mencoba mengungkap pelecehan verbal yang dialaminya dari kepala sekolah tempat ia bekerja.
Semua bermula ketika Baiq Nuril menerima panggilan telepon dari kepala sekolahnya, Muslim, pada 2012. Dalam percakapan itu, kepala sekolah tersebut menceritakan pengalaman seksualnya dengan wanita lain. Baiq Nuril, merasa tidak nyaman, merekam pembicaraan itu sebagai bukti pelecehan verbal yang diterimanya. Rekaman itu kemudian tersebar ke pihak lain tanpa sepengetahuannya.
Alih-alih mendapatkan keadilan, Baiq Nuril justru dilaporkan oleh Muslim dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena dianggap menyebarkan rekaman yang mencemarkan nama baik. Pada 2017, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan bahwa Baiq Nuril tidak bersalah. Namun, jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), dan pada 2018, MA justru menjatuhkan vonis bersalah kepadanya dengan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.
Putusan ini memicu kemarahan publik, terutama karena Baiq Nuril dianggap sebagai korban pelecehan yang malah dikriminalisasi. Dukungan pun berdatangan dari berbagai pihak, termasuk aktivis hak perempuan, tokoh masyarakat, dan bahkan Presiden Joko Widodo. Akhirnya, pada Juli 2019, Baiq Nuril mendapatkan amnesti dari Presiden Jokowi, yang membebaskannya dari hukuman tersebut.
Kasus ini menjadi simbol betapa UU ITE dapat digunakan untuk membungkam korban dan bagaimana perempuan masih kerap menjadi pihak yang dirugikan dalam sistem hukum yang belum sepenuhnya berpihak pada keadilan.
Kasus Baiq Nuril membuktikan bahwa penghakiman digital bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi bisa membela keadilan, tetapi di sisi lain juga bisa memperburuk keadaan jika tidak dikendalikan dengan baik.
Fenomena trial by internet ini memperlihatkan bahwa siapa pun bisa dihakimi bukan berdasarkan fakta hukum, tetapi berdasarkan opini publik yang terbentuk oleh narasi viral. Algoritma media sosial turut memperburuk keadaan dengan terus menyebarkan konten yang memicu emosi, mempercepat laju penghukuman. Dalam sekejap, seseorang bisa kehilangan pekerjaan, keluarga, bahkan hidupnya karena hukuman sosial yang tidak mengenal belas kasihan.
Dunia digital telah menciptakan bentuk baru dari pengadilan tanpa batas waktu dan tanpa prosedur yang adil. Di tengah ketidakpastian ini, kita harus bertanya: apakah kita masih memiliki kendali atas narasi tentang diri kita sendiri? Ataukah kita hanya bisa berharap agar tidak pernah menjadi target pengadilan digital berikutnya?
Dari perspektif eskatologi digital, penghakiman massa ini saya sebut dengan konsep Mahsyar Digital, sebuah istilah yang menggambarkan bagaimana ruang maya telah menjadi tempat penghakiman massal, di mana setiap kesalahan seseorang ditampilkan di hadapan publik dan diputuskan oleh suara mayoritas. Tidak ada ruang bagi pengampunan, hanya ada hukuman sosial yang terus berulang. Setiap orang menjadi hakim, tetapi juga bisa menjadi terdakwa berikutnya. Konsep ini akan saya bahas secara lebih mendalam dalam bab Padang Mahsyar Digital.