selamat datang peziarah digital
Gibran Sebagai Produk Algoritma Politik
Bayangkan, seorang pria 37 tahun mendadak duduk sebagai Wakil Presiden RI. Di negeri yang penuh hirarki dan patronase, ini bukan cuma langkah besar—ini benar-benar mencengangkan. Namun jangan salah paham—“keajaiban” ini bukan hasil sulap. Gibran tidak
6/2/20253 min read
Bayangkan, seorang pria 37 tahun mendadak duduk sebagai Wakil Presiden RI. Di negeri yang penuh hirarki dan patronase, ini bukan cuma langkah besar—ini benar-benar mencengangkan.
Namun jangan salah paham—“keajaiban” ini bukan hasil sulap. Gibran tidak muncul begitu saja dari ruang hampa. Ia adalah hasil dari proses panjang, bukan lewat meritokrasi, tapi titik temu berbagai kepentingan. Ia lahir dari algoritma kekuasaan: ramuan antara kekuatan dinasti, kalkulasi partai, celah hukum, dan momentum digital yang begitu tajam.
Kalau kita bicara soal AI, algoritma bekerja dengan pola: data, prediksi, lalu optimalisasi. Maka Gibran pun begitu: ia adalah data politik. Anak Jokowi, mantan wali kota Solo, muda, dan menarik bagi generasi Z. Prediksinya: bisa menjaga kesinambungan kekuasaan tanpa bikin para senior resah. Dan yang lebih penting: ia bisa dioptimalkan.
Optimasi ini bukan sekadar hoki. Seperti ayahnya, Gibran tampaknya memang “bejo.” Tapi dalam politik, keberuntungan itu bukan sulapan. Bejo di sini artinya ketika berbagai kepentingan bertemu dalam satu titik algoritmik—dan dari semua opsi yang ada, muncullah satu nama yang paling kompatibel: Gibran.
Ia bukan hanya anak muda. Ia adalah sebuah “produk”—hasil dari sistem yang perlahan bergeser: dari ideologi ke elektabilitas. Dari perang gagasan ke lomba pencitraan. Dari diskusi publik ke desain narasi. Dalam kerangka itu, yang viral bisa menang.
Algoritma Berbayar
Namun satu hal perlu dicatat: algoritma bukan kekuatan netral. Ia bisa dibentuk, bahkan dibayar. Dalam dunia digital, uang dapat menginjak pedal gas algoritma: melalui iklan, promosi berbayar, dan distribusi konten yang diboost secara sistematis. Siapa yang bisa membayar lebih, bisa muncul lebih sering.
Ini menjadikan algoritma bukan sekadar cermin publik, tapi alat kekuasaan—yang digerakkan bukan oleh keadilan, tapi oleh dana dan desain. Gibran, dalam hal ini, bukan sekadar hasil kalkulasi elektoral, tapi juga konsekuensi dari algoritma yang bisa dibayar, diatur, dan diarahkan.
Tapi jangan buru-buru menganggap ini sebagai kemenangan “kaum muda” atas politik lama. Karena sejatinya, kemenangan Gibran adalah buah dari sesuatu yang lebih dalam dan kompleks yaitu: algoritma kekuasaan itu sendiri.
Dari Dinasti ke Data: Gibran sebagai Template
Di zaman serba digital, algoritma tak bekerja berdasarkan kebetulan. Ia digerakkan oleh pola, data, dan analisis prediktif. Gibran adalah pola itu: anak presiden yang masih aktif, wali kota muda dari kota Solo, bersih dari kontroversi, dan punya daya tarik elektoral di kalangan muda.
Dari kacamata politik, ia terlalu sempurna untuk diabaikan. Bagi para elite yang sedang mencari wajah baru tanpa risiko besar, Gibran adalah template ideal: tidak cukup kuat untuk menyaingi, tapi cukup terkenal untuk dijual. Ia juga tidak membahayakan elite; tidak tampil sebagai ancaman dalam sistem politik bagi-bagi kekuasaan yang selama ini menopang stabilitas status quo.
Ia bukan robot, tapi diproses layaknya data. Masuk ke dalam simulasi partai, dibaca lewat survei, dinilai lewat buzzer, dan diuji coba lewat sosial media. Hasil akhirnya: rekomendasi algoritmik paling optimal demi menjaga kesinambungan kekuasaan di tengah runtuhnya legitimasi ideologis.
Dalam semua proses itu, algoritma tak hanya menjadi alat prediksi—ia menjadi alat distribusi. Dan distribusi, dalam dunia kapital algoritmik, tak bisa dilepaskan dari iklan dan anggaran. Konten politik pun akhirnya bersaing seperti produk: yang paling sering muncul bukan yang paling substansial, tapi yang paling rajin “membayar tampil”.
Di era digital, politik tak lagi ditentukan oleh ide besar atau manifesto, tapi oleh angka—engagement, sentimen, dan trending topic. Ia menjadi permainan citra dan perhatian. Dalam medan ini, mereka yang tampil muda, bersih, dan tak memicu konflik besar akan lebih mudah diterima.
Gibran, sebagaimana Jokowi di masa awal, muncul sebagai figur netral dan rapi secara visual. Ia tak lahir dari ledakan ide, tapi dari cerita yang bisa dijual di zaman pasca-kebenaran.
Keberhasilannya tak datang dari menciptakan gelombang, tapi dari kecocokan terhadap arus yang sudah diatur. Ia hadir bukan sebagai penantang, tapi sebagai elemen stabil dalam sistem yang terus mencari format baru.
Antara Keberuntungan dan Kalkulasi
“Keberuntungan” yang sering dilekatkan pada Jokowi dan keluarganya bukan datang dari langit. Dalam lanskap politik algoritmik, bejo adalah hasil desain: buah dari kalkulasi konsultan, survei, mesin buzzer, dan orkestrasi narasi.
Gibran tak muncul sebagai tokoh yang menggugat sistem, tapi sebagai hasil yang paling masuk akal dari sistem itu sendiri—saat krisis imajinasi melahirkan tokoh yang sesuai, bukan yang mengguncang.
Muncul pertanyaan: apakah ini benar kemenangan ide? Atau sekadar kemenangan tampilan di antara persepsi dan statistik? Seperti produk yang dipilih karena rating tinggi, bukan karena kualitas isinya.
Jika politik terus mengandalkan algoritma dan eksposur, bukan nilai dan integritas, maka figur berikutnya bisa saja bukan manusia. Tapi kandidat yang disusun dari big data, disesuaikan dengan klik, dan dipoles agar tampil seperti yang kita mau.
Sistem ini bisa dibentuk. Bisa dibayar. Dan diatur oleh mereka yang punya cukup kuasa dan sumber daya. Maka yang kita hadapi bukan sekadar pergantian wajah, tapi perubahan cara kerja kekuasaan itu sendiri.
Gibran bukan hanya simbol regenerasi politik. Ia adalah penanda bahwa demokrasi telah berbelok: dari arena publik ke ruang kendali algoritma.
Demokrasi dalam Genggaman Algoritma
Dulu dunia dikendalikan oleh raja, lalu oleh negara, dan sekarang—oleh sesuatu yang tak bisa dipilih lewat kotak suara: algoritma. Ia tak bersuara, tak berwajah, dan tak pernah lelah. Tapi ia hadir di tiap layar, mengatur apa yang kita lihat, apa yang kita sukai, bahkan apa yang kita percayai.
Algoritma tak pernah memaksa. Ia hanya menyajikan pilihan—berulang, tepat waktu, dan sangat personal. Tapi justru di sanalah letak kuasanya: ia membentuk kebiasaan, membungkus opini, merangkai narasi dan menciptakan ilusi kebebasan. Lalu, kita merasa memilih, padahal kita sedang dipilihkan olehnya.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis yang lahir dari penalaran, renungan, pengalaman serta pengetahuan subjektif penulis. Interpretasi dan kesimpulan yang disajikan bersifat reflektif dan tidak dimaksudkan sebagai jawaban atau kebenaran. Silakan berbeda pendapat dan temukan makna tafsir versi dirimu sendiri