selamat datang peziarah digital
Hisab Digital, Ketika Algoritma Menjadi Malaikat Pencatat
Mereka tidak akan mengucapkan satu kata pun melainkan ada pengawas yang selalu siap mencatat. (QS Qaf: 18) Bayangkan, sebuah dunia di mana setiap gerak-gerik manusia dicatat. Setiap kata yang diucapkan, direkam. Setiap tindakan, dinilai. Dunia itu bukan sekadar kisah fiksi eskatologi, tetapi realitas
3/27/20254 min read
Mereka tidak akan mengucapkan satu kata pun melainkan ada pengawas yang selalu siap mencatat. (QS Qaf: 18)
Bayangkan, sebuah dunia di mana setiap gerak-gerik manusia dicatat. Setiap kata yang diucapkan, direkam. Setiap tindakan, dinilai. Dunia itu bukan sekadar kisah fiksi eskatologi, tetapi realitas yang kita jalani hari ini.
Dulu, kita membayangkan Raqib dan Atid sebagai dua malaikat yang mencatat amal baik dan buruk kita dalam buku gaib. Kini, peran itu diambil alih oleh sesuatu yang lebih kasat mata, yakni algoritma digital. Tidak ada yang bisa disembunyikan darinya. Tidak ada yang bisa dihapus. Tidak ada yang bisa mengelak dari hisab digital yang kita bangun sendiri.
Seorang pria dipecat karena cuitannya sepuluh tahun yang lalu. Seorang influencer jatuh dari kejayaan akibat video lamanya yang kembali viral. Seorang pegawai kehilangan pekerjaannya, karena berkomentar di media sosial yang dianggap ofensif. Ini bukan cerita fiksi, melainkan bukti bahwa jejak digital kita adalah catatan amal yang dapat kembali menghantui kita, kapan saja.
Kita sadar bahwa dunia digital ternyata punya pengawasan yang sangat tajam. Setiap unggahan, komentar, dan klik direkam oleh sistem yang tak pernah tidur. Google tahu, apa yang kita cari. Facebook tahu, apa yang kita suka. TikTok tahu, seberapa lama mata kita terpaku pada sebuah video.
Lebih mengerikan lagi, algoritma tidak sekadar mencatat, tetapi juga menilai dan menghakimi. Konten yang dianggap menarik akan diangkat. Konten yang kontroversial ditandai. Mereka yang dianggap berbahaya akan dihukum dengan berbagai bentuk sanksi digital, mulai dari ban, shadowban, hingga cancel culture.
Sering kita jumpai fenomena sosial di mana seseorang dijatuhi hukuman oleh opini publik, berujung pada boikot, pengucilan sosial, bahkan kehilangan pekerjaan. Di dunia digital, penghakiman tidak menunggu kiamat. Ia terjadi sekarang, saat ini juga.
Dulu, manusia mengira amal perbuatan mereka hanya dicatat dalam Kitab Besar yang akan dibuka di Hari Pembalasan. Kini, mereka secara sukarela mencatat sendiri setiap perbuatan mereka. Benar-benar tanpa paksaan. Mereka mengarsipkan hidup mereka dalam teks, gambar, dan video yang tersimpan di Cloud, server teknologi, dan berbagai sudut internet.
Pada era kamera analog, dengan pita film terbatas dan rol foto yang hanya bisa menyimpan 24 atau 36 gambar, mustahil membayangkan bahwa suatu hari nanti kita bisa mendokumentasikan hidup tanpa batasan. Kini, setiap langkah terekam dalam ribuan gambar dan video, tanpa perlu memikirkan biaya cetak atau keterbatasan penyimpanan.
Malaikat pencatat itu tak lagi sekadar entitas gaib. Mereka telah bertransformasi menjadi algoritma yang mengawasi tanpa henti. Setiap pencarian Google, setiap likes di media sosial, setiap transaksi di e-commerce; semua menjadi bagian dari jejak digital yang mustahil terhapus sepenuhnya.
Lebih dari sekadar kumpulan data, jejak ini memiliki konsekuensi sosial. Di era modern, ‘kitab amal’ tersebut bisa dibuka kapan saja, bahkan sebelum kematian tiba.
Kasus lain yang menarik perhatian adalah bagaimana algoritma perbankan dan pinjaman daring bisa menghukum seseorang tanpa mereka sadari. Di beberapa negara, sistem penilaian kredit kini tidak hanya bergantung pada riwayat finansial, tetapi juga aktivitas media sosial. Sebuah unggahan yang menunjukkan gaya hidup boros bisa berdampak pada penilaian risiko seseorang, sehingga mereka lebih sulit mendapatkan pinjaman. Dengan kata lain, hisab algoritma bukan sekadar tentang apa yang kita lakukan secara finansial, tetapi juga bagaimana kita mencitrakan diri kita di dunia maya.
Fenomena ini juga terjadi dalam dunia ketenagakerjaan. Banyak perusahaan kini menggunakan perangkat lunak berbasis AI untuk menyaring pelamar kerja. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa algoritma dapat secara otomatis mendiskualifikasi kandidat berdasarkan riwayat digital mereka, bahkan sebelum manusia membaca CV mereka. Sebuah cuitan lama yang dianggap kontroversial atau foto yang dianggap tidak profesional bisa langsung mengubur peluang seseorang mendapatkan pekerjaan.
Hisab algoritma juga berlaku dalam sistem hukum. Di beberapa negara, teknologi pengenalan wajah digunakan untuk memantau aktivitas publik, mengidentifikasi pelaku kejahatan, dan bahkan memperkirakan potensi seseorang untuk melakukan pelanggaran hukum. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan keamanan, tetapi tidak jarang malah menjadi alat diskriminasi yang menghukum orang berdasarkan pola perilaku yang mungkin tidak sepenuhnya akurat.
Jika dalam ajaran agama, hisab adalah proses yang dilakukan oleh Tuhan dan malaikat pencatat, maka di era digital, hisab ini telah beralih ke tangan mesin dan korporasi teknologi. Tidak ada lagi ruang bagi pengampunan atau pertobatan, karena sistem ini bekerja secara otomatis, tanpa mempertimbangkan konteks atau niat seseorang. Dunia digital telah menciptakan bentuk penghakiman baru yang lebih cepat, lebih dingin, dan lebih sulit dihindari.
Dengan semakin canggihnya kecerdasan buatan dan pengolahan data, hisab algoritma akan semakin kompleks dan mendalam. Apakah kita siap untuk hidup dalam dunia di mana setiap tindakan, baik yang disengaja maupun tidak, akan selalu dihitung dan dipertimbangkan oleh mesin? Dan lebih penting lagi, apakah kita bisa merebut kembali kendali atas takdir digital kita, ataukah kita hanya pasrah menjalani penghakiman algoritmik yang terus berlangsung tanpa henti?
Pada era di mana jejak digital menjadi bagian dari ‘takdir’ kita, ada dua jalan yang bisa dipilih, yakni mengontrol narasi kita sendiri atau menghilang sepenuhnya.
Beberapa orang memilih jalan pertama. Mereka mengelola persona digital dengan cermat serta memastikan setiap unggahan mencerminkan citra yang mereka inginkan. Mereka yang paham algoritma tahu bahwa jejak digital bisa dikendalikan, bukan hanya ditinggalkan.
Namun, sebagian lain memilih jalan kedua, yaitu dengan ‘membunuh’ eksistensi digital mereka. Mereka menghapus akun media sosial, menggunakan VPN, dan menolak meninggalkan jejak di internet.
Tapi, bisakah kita benar-benar kabur dari sistem yang terus mengawasi? Bahkan jika kita berhenti menggunakan media sosial, kita tetap menjadi bagian dari sistem. Wajah kita terekam di CCTV jalanan, data kita tersimpan dalam sistem perbankan, dan riwayat pencarian kita tetap tersimpan dalam server perusahaan teknologi raksasa.
Hisab digital bukan sekadar ramalan eskatologi atas penafsiran kita terhadap Kitab Suci. Ia adalah kenyataan yang telah kita bangun sendiri. Kita yang setuju memberikan data kita kepada platform gratis. Kita yang rela ditelanjangi oleh algoritma demi konten yang lebih personalized. Kita yang secara sukarela menyerahkan privasi kita ke tangan perusahaan teknologi.
Dulu kita bertanya, “Bagaimana malaikat bisa mencatat semua perbuatan kita?” Sekarang, pertanyaannya berubah menjadi, “Bisakah kita hidup tanpa diawasi?” Jawabannya, “Tidak!”
Selamat datang pada era di mana pengawasan tak lagi dipahami gaib dan tak kasat mata. Pengawasan itu ada di dalam server, algoritma, serta setiap klik dan swipe yang kita lakukan. Hisab digitalmu telah dimulai!