selamat datang peziarah digital

Keruntuhan Israel 2028 dan Ramalan Eskatologis Syekh Ahmad Yasin

Menariknya, bukan hanya umat Islam yang berpikir eskatologis. Israel pun percaya. Bukti paling gamblangnya adalah upaya sistematis Israel dalam menanam pohon gharqad di sekitar permukiman dan benteng mereka. Ini terkait langsung dengan hadis Nabi Muhammad ﷺ yang berbunyi:

6/22/20253 min read

a group of people standing outside with Western Wall in the background
a group of people standing outside with Western Wall in the background

Yerusalem bukan sekadar kota. Ia adalah titik pertemuan iman, sejarah, dan pertumpahan darah.
Tempat para nabi berpijak, kitab-kitab diturunkan, dan bangsa-bangsa tumbang.

Di sanalah berdiri apa yang oleh orang Yahudi disebut sebagai Bait Suci—“Beit HaMikdash.” Sebuah bangunan besar dan suci, pusat ibadah dan simbol kehadiran Tuhan dalam sejarah mereka.

Bagi umat Islam, tempat itu dikenal dengan nama Baitul Maqdis atau Al-Quds, dan berdiri di dalam kompleks suci yang kita sebut Masjidil Aqsha. Ia adalah kiblat pertama umat Islam, sebelum pindah ke Ka'bah. Dan dari tempat itulah Nabi Muhammad ﷺ diangkat ke langit (Mi’raj), menuju Sidratul Muntaha dalam peristiwa agung Isra’ Mi’raj.

Tempat ini suci bukan hanya bagi satu umat, tetapi menjadi saksi bagi janji dan pengkhianatan, petunjuk dan penyimpangan.

Tahun 586 sebelum Masehi, Raja Nebukadnezar dari Babilonia mengepung Yerusalem. Bait Suci pertama dihancurkan. Bangsa Yahudi ditawan dan diasingkan. Itu fase pertama kejatuhan mereka.

Lalu, tahun 70 Masehi, Jenderal Titus dari Romawi datang. Bait Suci kedua diluluhlantakkan. Dan bangsa itu tercerai-berai selama hampir dua milenium.

Namun, sejarah mencatat satu ironi: bahwa yang menyelamatkan bangsa Yahudi setelah dihancurkan oleh Babilonia adalah bangsa Persia. Raja Koresy Agung (Cyrus the Great) dari Persia membebaskan mereka,
mengizinkan mereka kembali ke Yerusalem, dan mendukung pembangunan ulang Bait Suci.
Dalam tradisi Yahudi, Cyrus bahkan disebut sebagai “yang diurapi Tuhan.”

Tapi lihatlah hari ini: Israel seolah sedang meludahi sejarah. Mereka tidak ingat bangsa Persia yang pernah menyelamatkan nenek moyangnya. Alih-alih menghargai, kini mereka menganggap Iran yang merupakan warisan Persia, justru dianggap sebagai musuh utama dan ancaman eksistensial Israel di Timur Tengah.

Dan hari ini konflik itu meletus nyata. Tahun 2025, Israel menyerang fasilitas militer Iran. Iran membalas dengan rudal Sijjil yang mengguncang Tel Aviv dan Haifa. Lalu, Amerika Serikat masuk gelanggang, mengebom pusat-pusat nuklir Iran dalam operasi Midnight Hammer.

Sementara dunia tegang, umat Islam kembali mengingat kalimat yang pernah diucapkan Syekh Ahmad Yasin, Pendiri HAMAS, ulama karismatik yang lumpuh, dan gugur syahid akibat rudal Israel pada tahun 2004.

“Israel tidak akan bertahan lebih dari 80 tahun,” demikian petuahnya.

Bagi sebagian orang, itu mungkin terdengar seperti ucapan biasa. Namun bagi para pejuang dan umat yang membaca sejarah dengan iman, itulah keyakinan yang menggerakkan arah perjuangan.

Negara Israel berdiri pada tahun 1948, pasca Perang Dunia II, di tengah gelombang pembentukan negara-negara bangsa yang merdeka. Jika 1948 ditambah 80 tahun berarti: 2028. Itulah tahun yang diyakini sebagian umat Islam sebagai titik akhir dari proyek kolonial bernama Israel.

Keyakinan ini tidak berdiri sendiri, melainkan tumbuh dari luka panjang penjajahan dan nubuat-nubuat dalam sejarah kenabian. Bagi para pejuang di Gaza, Beirut, hingga Teheran, tahun-tahun seperti 2023, 2024, 2025 hingga 2028 bukanlah sekadar angka dalam kalender.

Itu adalah angka-angka simbolik. Penanda waktu spiritual. Tanda-tanda zaman yang mereka yakini akan membuka babak baru— ketika tanah suci dibebaskan dan kezaliman dihancurkan dari akarnya.

Bisa jadi serangan HAMAS yang mengejutkan pada 7 Oktober 2023 bukan sekadar operasi militer biasa. Bagi banyak orang, itu dianggap sebagai kejutan taktis. Tapi bagi mereka yang memahami akar keyakinan gerakan ini, serangan itu adalah bentuk nyata dari “laku iman” terhadap ucapan Syekh Ahmad Yasin.

Serangan Itu bukan sekadar reaksi atas blokade Gaza atau penindasan Israel. Melainkan bagian dari keyakinan mendalam, bahwa waktu Israel memang sedang menghitung mundur. Bahwa 2023 hingga 2028 bukanlah tahun-tahun biasa, melainkan fase-fase penting dalam narasi sejarah dan eskatologi umat.

Umat Islam memang menyukai cara berpikir eskatologis. Bukan karena senang berkhayal, tetapi karena iman memang mengajarkan: bahwa dunia ini menuju akhir, dan sejarah akan berpihak pada janji Tuhan, bukan kekuasaan manusia.

Setiap gerakan umat Islam selalu sarat dengan kesadaran akhir zaman. Setiap perlawanan bukan hanya taktik, tapi bagian dari jalan menuju pembebasan. Mereka percaya pada nubuwwah, pada tanda-tanda, dan pada kehancuran kezhaliman. Mereka meyakini ucapan Ahmad Yasin bukan sekadar ramalan—melainkan iman.

Menariknya, bukan hanya umat Islam yang berpikir eskatologis. Israel pun percaya. Bukti paling gamblangnya adalah upaya sistematis Israel dalam menanam pohon gharqad
di sekitar permukiman dan benteng mereka. Ini terkait langsung dengan hadis Nabi Muhammad ﷺ yang berbunyi:

“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kaum Muslimin memerangi kaum Yahudi. Lalu orang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon. Maka batu dan pohon itu akan berkata: ‘Wahai Muslim, wahai hamba Allah, ini Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah dia.’ Kecuali pohon gharqad, karena ia adalah pohonnya orang Yahudi.”
(HR. Muslim, no. 2922)

Hadis ini hidup dalam kesadaran umat Islam, dan ternyata juga mempengaruhi strategi defensif Israel. Mereka takut bukan hanya pada pejuang bersenjata, tetapi pada nubuat.

Dan itulah yang menjadikan konflik ini lebih dari sekadar perang. Ini adalah benturan antara sejarah dan iman, antara zalim dan akhir, antara pengingkaran terhadap masa lalu dan keyakinan akan masa depan.

Tahun 2028 bukan sekadar angka. Ia adalah tanda. Jika ucapan Ahmad Yasin benar, maka dunia sedang menyaksikan penghujung usia Israel— sebagaimana Nebukadnezar dan Titus dulu pernah menyaksikan robohnya keangkuhan dari kaum yang mengaku paling dekat dengan Tuhan.