selamat datang peziarah digital

Padang Mahsyar Digital di Abad Global Village

Setiap pagi, sebelum mata kita benar-benar terbuka, jari-jari kita sudah lebih dulu menyentuh layar. Bukan untuk berdoa, tapi untuk membuka gerbang dunia kedua bernama "beranda atau lini masa". Di sanalah wajah-wajah dari seluruh dunia tumpang tindih—sahabat lama, selebritas asing, musuh politik, hingga

4/18/20252 min read

woman sitting on sand field
woman sitting on sand field

Setiap pagi, sebelum mata kita benar-benar terbuka, jari-jari kita sudah lebih dulu menyentuh layar. Bukan untuk berdoa, tapi untuk membuka gerbang dunia kedua bernama "beranda atau lini masa". Di sanalah wajah-wajah dari seluruh dunia tumpang tindih—sahabat lama, selebritas asing, musuh politik, hingga kenangan pribadi. Semua tampil telanjang, menunggu giliran diadili, ditertawakan, atau dilupakan. Inilah Padang Mahsyar Digital.

Dalam tradisi Islam, Padang Mahsyar adalah tempat dikumpulkannya seluruh umat manusia setelah kiamat, untuk menghadapi hari penghakiman. Di sanalah setiap amal, sekecil apa pun, ditimbang dan dihisab. Tak ada tempat bersembunyi. Tak ada sandiwara. Semua terbuka, semua ditampilkan, semua dipertanggungjawabkan.

Kini, metafora itu menemukan padanannya di dunia maya. Semua data manusia yang tersimpan di awan digital suatu hari akan turun—bukan sebagai rahmat, tapi sebagai hujan deras yang membanjiri jagat bumi. Bukan air, tapi informasi: jejak, rekam, rahasia, dan luka. Seperti Kotak Pandora yang terbuka, seluruh isi tersembunyi manusia tumpah ruah, menyisakan satu hal terakhir yang tertinggal di dasar awan: harapan yang nyaris punah.

Marshall McLuhan pernah menyebut dunia modern sebagai Global Village—sebuah desa raksasa yang menyatukan umat manusia lewat media. Tapi desa ini bukan sekadar tempat tinggal. Ia telah menjelma jadi ruang pengadilan, panggung teater, dan arena sirkus sekaligus. Sebuah tempat di mana semua orang menjadi saksi, hakim, sekaligus terdakwa. Kita tak hanya menyaksikan penghakiman; kita ikut memegang palu.

Yang lebih tragis dari penghakiman itu adalah polanya yang repetitif. Kita menghakimi orang yang sama berulang kali, seolah-olah menyalakan kembali apinya setiap hari. Semakin sering kita membicarakannya, membagikannya, menertawakannya, semakin kita mengabadikan nerakanya. Padang Mahsyar Digital tak mengenal ampun atau lupa. Ia adalah ruang di mana dosa yang pernah viral tak pernah benar-benar mati.

Padang Mahsyar dalam keimanan adalah tempat pertanggungjawaban sejati, berdasarkan keadilan Ilahi. Tapi Padang Mahsyar Digital tak mengenal Tuhan. Ia dikuasai oleh algoritma, diatur oleh emosi massa, dan digerakkan oleh kapitalisasi atensi. Keadilan diganti opini, dan opini dibentuk oleh trending topic.

Kita hidup dalam sistem di mana “kebaikan yang sunyi tak dianggap, dan keburukan yang viral tak terlupakan.” Dan ironisnya: kita rela tampil setiap hari di panggung itu, berharap diterima, tapi tak sadar sedang dirampas. Bukan hanya waktunya, tapi harga dirinya.

Seorang bijak pernah berkata, “Di akhir zaman, manusia lebih takut kehilangan followers daripada kehilangan Tuhan.”
Dan kita tertawa—karena kita tahu itu benar, tapi tak sanggup melepaskan.