selamat datang peziarah digital

Padang Mahsyar Digital, Era Penghakiman Massal di Media Sosial

Dalam kepercayaan eskatologis, Padang Mahsyar adalah tempat di mana semua manusia dikumpulkan untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya. Tidak ada yang tersembunyi, setiap tindakan dan perkataan akan diperlihatkan secara terang-benderang. Konsep ini kini menemukan refleksinya dalam dunia digital, di mana media sosial

3 min read

grayscale photo of people sitting on chair
grayscale photo of people sitting on chair

Dalam kepercayaan eskatologis, Padang Mahsyar adalah tempat di mana semua manusia dikumpulkan untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya. Tidak ada yang tersembunyi, setiap tindakan dan perkataan akan diperlihatkan secara terang-benderang.

Konsep ini kini menemukan refleksinya dalam dunia digital, di mana media sosial telah menjadi ruang penghakiman massal yang tak mengenal ampun. Jejak digital seseorang dapat diungkap, dibedah, dan dihukum dalam hitungan detik, tanpa kesempatan untuk membela diri secara adil.

Ya, media sosial telah menghapus batas-batas geografis dan membuat kita hidup dalam satu ruang yang sama. Sebuah Global Village yang mirip dengan konsep Padang Mahsyar.

Di satu sisi, hal ini menciptakan solidaritas global berupa; dukungan, kepedulian, dan gerakan bersama untuk isu-isu kemanusiaan. Namun, di sisi lain, ia juga membawa budaya perundungan massal, di mana seseorang bisa dihujat tanpa ampun karena kesalahan kecil, seolah-olah berada di pengadilan akhir yang tanpa belas kasihan.

Dunia digital memang datar dalam arti bahwa semua orang memiliki akses yang sama untuk berbicara, tetapi kekuatan algoritma dan opini mayoritas sering kali membuat penghakiman menjadi bias dan tak terkendali. Kita mungkin sedang menyaksikan manifestasi modern dari Padang Mahsyar, di mana jejak digital adalah bukti amal, dan cancel culture menjadi eksekusinya.

Bayangkan seorang figur publik, sebut saja Bunga, seorang influencer terkenal yang mengkampanyekan kesadaran lingkungan. Suatu hari, sebuah unggahan lama dari 10 tahun lalu muncul kembali—sebuah tweet bernada rasis yang ia buat di masa mudanya. Dalam hitungan jam, media sosial pun meledak. Tagar BoikotDian menjadi trending, berbagai komentar menyerang pribadinya, dan sponsor-sponsor yang bekerja sama dengannya buru-buru menarik dukungan. Dian mencoba meminta maaf dan menjelaskan bahwa ia telah berubah, tetapi internet tidak lupa dan tidak memaafkan. Penghakiman telah dijatuhkan: kariernya hancur.

Fenomena ini bukanlah hal yang baru. Budaya "cancel culture" telah menjadi alat bagi publik untuk memberikan sanksi sosial terhadap individu atau kelompok yang dianggap melanggar norma sosial. Namun, pertanyaannya adalah: apakah proses penghakiman ini adil? Ataukah kita telah menciptakan bentuk baru dari hukuman tanpa pengadilan?

Jejak Digital dan Solidaritas di Era Global Village

Salah satu aspek yang membuat Padang Mahsyar Digital begitu mengerikan adalah sifat permanen dari jejak digital. Kesalahan kecil di masa lalu dapat muncul kembali dan digunakan untuk menjatuhkan seseorang kapan saja. Tidak seperti dalam dunia nyata, di mana manusia bisa menyesali dan memperbaiki kesalahan mereka, dunia digital sering kali tidak memberi kesempatan kedua.

Namun, di balik sisi gelapnya, era digital juga membawa fenomena baru: solidaritas digital. Kita hidup dalam Global Village, di mana orang-orang dari berbagai belahan dunia saling terhubung dan membahas isu yang sama secara real-time. Tragedi di satu negara bisa langsung menjadi perbincangan global, gerakan solidaritas muncul dalam hitungan jam, dan individu bisa memperoleh dukungan dari komunitas yang bahkan belum pernah mereka temui sebelumnya. Solidaritas digital ini bisa menjadi kekuatan positif, tetapi juga bisa berbalik menjadi tekanan kolektif yang menekan individu ke titik kehancuran.

Kasus lain yang terkenal adalah seorang wartawan yang dipecat dari pekerjaannya setelah sebuah cuitan ironisnya pada tahun 2012 diangkat kembali oleh lawan politiknya. Meskipun ia telah menjelaskan konteksnya, dan banyak orang yang membelanya, dampak sosial dan ekonomi terhadap kehidupannya tetap nyata. Dunia digital tidak mengenal konteks atau niat—hanya ada kutipan (cuplikan) dan persepsi yang terbentuk darinya.

Algoritma sebagai Hakim Tak Terlihat

Di balik penghakiman massal ini, ada entitas yang sering kali luput dari perhatian: algoritma media sosial. Algoritma dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, bukan untuk memastikan kebenaran atau keadilan. Konten yang paling provokatif, yang membangkitkan kemarahan atau keterkejutan, cenderung mendapatkan lebih banyak interaksi dan visibilitas. Akibatnya, skandal kecil bisa berubah menjadi peristiwa global dalam hitungan jam, tanpa ada mekanisme untuk memverifikasi atau menimbang keadilan dari tuduhan yang dilemparkan.

Dengan demikian, media sosial bukan hanya sekadar platform komunikasi, tetapi juga arena di mana kebenaran bisa dimanipulasi dan opini bisa dibentuk oleh kekuatan yang tak terlihat. Dalam konteks eskatologi digital, ini menggambarkan bagaimana manusia kini hidup dalam sebuah ruang penghakiman yang terus-menerus aktif, di mana setiap tindakan dapat diadili secara instan tanpa pertimbangan yang matang.

Menuju Keadilan di Era Penghakiman Digital

Apakah ada jalan keluar dari Padang Mahsyar Digital ini? Mungkin tidak ada cara untuk sepenuhnya menghindari penghakiman publik di dunia maya, tetapi ada langkah-langkah yang bisa diambil untuk meminimalisir dampaknya. Pendidikan literasi digital yang lebih baik, mekanisme fact-checking yang lebih kuat, dan etika bermedia sosial yang lebih sehat adalah beberapa solusi yang bisa membantu menciptakan ruang digital yang lebih adil.

Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana masyarakat bisa kembali pada prinsip dasar keadilan: bahwa setiap individu berhak mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan dan memperbaiki kesalahannya, tanpa harus selamanya dihantui oleh dosa-dosa digitalnya. Jika tidak, kita hanya akan terus hidup dalam bayang-bayang penghakiman massal yang tanpa akhir, di mana kesalahan sekecil apa pun bisa menjadi vonis sosial yang tak terampuni.