selamat datang peziarah digital

Perang Iran–Israel, Skema Bisnis Senjata di Balik Narasi Eskatologis

Tapi mari kita turunkan tensi. Sebentar saja. Mari kita lihat perang ini dari sisi lain yang lebih dingin. Lebih senyap. Tapi tak kalah mengerikan yakni; Bisnis senjata. Ada fakta menarik dari U.S. Congressional Research Service (CRS)

6/25/20253 min read

six fighter jets
six fighter jets

Perang di Timur Tengah, dari Iran hingga Palestina, dari Israel hingga Amerika Serikat, sering kali dilihat bukan sekadar konflik politik atau militer. Ia dipahami dalam bingkai yang lebih dalam: semangat agama dan keyakinan.

Tak sedikit yang memandangnya melalui kacamata iman, bahkan lensa eskatologis. Dan setiap kali ada ledakan, jargon-jargon lama pun kembali terdengar: Zionis vs Islam. Syiah vs Yahudi. Ramalan tentang Dajjal, kemunculan Imam Mahdi, dan tanda-tanda kiamat.

Perang ini bukan lagi semata-mata soal wilayah atau kekuasaan, tapi menjadi bagian dari narasi umat manusia— tentang kebenaran, akhir zaman, dan pertarungan terakhir antara cahaya dan kegelapan.

Tapi mari kita turunkan tensi. Sebentar saja. Mari kita lihat perang ini dari sisi lain yang lebih dingin. Lebih senyap. Tapi tak kalah mengerikan yakni; Bisnis senjata.

Ada fakta menarik dari U.S. Congressional Research Service (CRS). Sebuah lembaga resmi yang melaporkan bantuan luar negeri AS. Bahwa setiap tahun, Amerika Serikat memberikan bantuan militer ke Israel sebesar 3,8 miliar dolar AS.

Angka tersebut merupakan bagian dari perjanjian 10 tahun (2019-2028) yang mengikat antara Washington dan Tel Aviv. Jika dikonversi ke rupiah: sekitar 60 triliun rupiah setiap tahun.

Tapi bantuan itu bukan hibah biasa. Bukan hibah cuma-cuma. Itu bagian dari skema bisnis militer global,
yang disamarkan dalam istilah: “dukungan strategis.”

Dalam skema itu, APBN Amerika mengalokasikan dana sebesar 3,8 miliar dolar AS setiap tahun untuk "membantu" Israel. Namun uang itu tidak benar-benar pergi ke luar negeri. Karena Israel wajib menggunakan dana tersebut untuk membeli produk dari perusahaan senjata Amerika.

Siapa saja pemasoknya? Lockheed Martin, Raytheon Technologies, Boeing Defense, dan General Dynamics. Itulah para pemain utama di balik “bantuan” itu. Empat raksasa industri pertahanan yang menerima aliran dana secara langsung lewat kontrak pembelian rudal, drone, sistem Iron Dome, dan teknologi militer lainnya.

Uangnya keluar dari Washington. Lalu kembali lagi ke Washington. Namun kali ini bukan ke kas negara,
melainkan ke dalam kantong privat. Korporasi. Pemegang saham. Eksekutif militer-industri yaitu; para pimpinan tinggi (CEO, CFO, direksi) dari Empat perusahaan besar industri pertahanan tadi.

Uang bantuan itu berubah bentuk menjadi revenue, menjadi laba bersih, menjadi dividen. Uang hibah masuk dalam neraca perusahaan menjadi bonus tahunan bagi para CEO yang tak pernah melihat langsung medan perang.

Inilah wajah lain dari konflik Timur Tengah. Bukan hanya perang iman, tapi juga perang untuk mempertahankan margin keuntungan. Israel dapat senjata. Amerika dapat pasar. Dan dunia? Dapat perang yang tak kunjung usai.

Setiap serangan udara, setiap ledakan rudal, bukan hanya menjadi berita. Tapi juga berarti pesanan baru. Stok senjata habis? Pesan lagi. Iron Dome aktif? Isi ulang. Drone jatuh? Produksi lembur.

Konflik berarti konsumsi. Konsumsi berarti produksi. Produksi berarti laba. Maka jangan heran jika perang ini seperti tak ingin selesai. Karena damai itu merugikan.

Umat Islam punya keyakinan sendiri. Syekh Ahmad Yasin, ulama lumpuh pendiri HAMAS,
pernah berkata: “Israel tidak akan bertahan lebih dari 80 tahun.”

Bukan ramalan kosong. Tapi iman yang dipegang. Israel berdiri tahun 1948. Tahun 2028 tinggal sebentar lagi.Dan bagi mereka yang percaya, angka itu bukan sekadar kalender. Tapi tanda zaman.

Bagi sebagian orang, itu terdengar seperti ramalan. Tapi bagi para pejuang di Gaza, Lebanon, dan Teheran,
itu adalah iman yang menggerakkan.

Israel berdiri pada tahun 1948. Maka 80 tahun berarti 2028. Dan hari ini, angka itu sudah di depan mata. Menariknya, Amerika Serikat dan Israel menandatangani kontrak bantuan militer 10 tahun, mulai dari 2019 hingga 2028. Jumlahnya sangat besar: 3,8 miliar dolar AS per tahun atau 60 triliun rupiah.

Bagi yang percaya, ini bukan sekadar kebetulan. Seolah-olah Barat pun tahu, proyek ini ada batasnya. Bahwa umur dominasi ini sudah dihitung. Dan kontrak itu seperti garis akhir: bukan hanya anggaran, tapi juga eksistensi.

Serangan besar Hamas pada Oktober 2023? Bagi sebagian, itu kejutan. Tapi bagi para pejuang di Gaza,
itu adalah laku iman. Ekspresi keyakinan terhadap janji Syekh Ahmad Yasin.

Sementara darah tertumpah di Gaza, dan ketegangan meningkat di Tel Aviv dan Teheran, di tempat lain —
di bursa saham dan ruang dewan direksi — ada yang tersenyum.

Karena perang ini bukan hanya tentang kemenangan atau kekalahan. Tapi tentang kontrak dan dividen.
Tentang supply chain rudal, bukan hanya jihad. Tentang grafik naik, bukan hanya semangat perlawanan.

Betapa miris. Dan teriris. Yang satu berjuang demi tanah suci. Yang lain sibuk mengejar target penjualan kuartal berikutnya. Kita menyaksikan perang dengan dada berdebar. Dengan air mata. Dengan doa.

Tapi di balik layar, ada yang menyaksikan dengan tenang: “dan Order pun masuk lagi.”

Perang ini tampak suci. Tapi sangat komersil. Tampak ideologis. Tapi sangat korporat.

Maka iman memang harus hidup. Tapi akal juga harus tetap waras. Agar kita tidak jadi korban. Bukan hanya karena peluru, tapi karena tipuan narasi dan permainan modal.