selamat datang peziarah digital

Perspektif Agama dan Filsafat, Apakah Ini Akhir Zaman atau Awal Zaman Baru yang Sama Sekali Asing?

Di hadapan kita terbentang gerbang yang belum pernah terbuka sebelumnya: sebuah zaman yang tak sekadar runtuh, tapi juga menjanjikan kebangkitan dalam bentuk

4/11/20253 min read

woman wearing white scarf
woman wearing white scarf

Di hadapan kita terbentang gerbang yang belum pernah terbuka sebelumnya: sebuah zaman yang tak sekadar runtuh, tapi juga menjanjikan kebangkitan dalam bentuk yang sama sekali asing. Bagi mereka yang beriman, ini mungkin pertanda semakin dekatnya Hari Penghakiman, saat setiap amal digital pun tak luput dari pencatatan ilahi. Namun bagi mereka yang memuja algoritma lebih dari wahyu, ini bisa jadi hanya fase transisi menuju dunia post-manusia yang sepenuhnya terkomputerisasi.

Kita sedang hidup di ambang dua dunia: satu yang dibentuk oleh nubuat dan kitab, satu lagi oleh kabel, chip, dan kode. Di tengah kabut ini, satu pertanyaan terus menggema: apakah ini benar-benar akhir… atau permulaan baru yang lebih mengerikan?

Setiap peradaban selalu memiliki pertanyaan mendasar tentang akhirnya. Apakah kita sedang menuju kehancuran total, atau justru sedang berada di ambang transformasi besar yang tak terhindarkan? Dalam era digital yang dipenuhi dengan kecerdasan buatan, pengawasan masif, disrupsi teknologi, dan runtuhnya batas antara realitas dan virtualitas, banyak yang bertanya: Apakah ini sudah akhir?

Dari sudut pandang agama, eskatologi selalu berbicara tentang tanda-tanda kiamat. Hampir semua agama besar memiliki narasi tentang zaman akhir—baik itu dalam bentuk Armageddon, Hari Penghakiman, Kalki Avatar, atau konsep-konsep lainnya. Sedangkan dalam filsafat, pertanyaan ini justru membawa kita pada perenungan yang lebih dalam tentang makna eksistensi di tengah revolusi digital yang tak terbendung.

Dalam banyak tradisi keagamaan, akhir zaman sering dikaitkan dengan fitnah besar, penyesatan massal, dan hilangnya nilai-nilai moral. Beberapa elemen yang sering muncul dalam teks keagamaan bisa kita kaitkan dengan kondisi dunia digital saat ini.

Dalam Islam, Dajjal digambarkan sebagai sosok yang membawa fitnah besar dan menipu manusia dengan keajaiban yang ia ciptakan. Di era digital, ilusi ini hadir dalam bentuk deepfake, manipulasi informasi, dan rekayasa sosial yang membuat manusia sulit membedakan mana yang benar dan yang palsu. Jika dulu manusia mencari kebenaran melalui pengalaman langsung, kini kebenaran dikendalikan oleh algoritma, media, dan propaganda digital.

Banyak agama berbicara tentang datangnya zaman di mana manusia kehilangan kendali atas hidupnya, terperangkap dalam sistem yang mereka buat sendiri. AI, big data, dan kapitalisme digital semakin membuat manusia menjadi bagian dari mesin besar yang tak bisa ia lawan. Banyak orang kini merasa hidupnya dikendalikan oleh tren, sistem ekonomi, dan kecerdasan buatan yang bahkan mereka sendiri tidak pahami.

Jika dalam konsep keagamaan ada catatan amal yang menentukan nasib manusia di akhirat, maka dalam dunia digital kita menghadapi sistem pencatatan yang tak kalah ketat: big data dan jejak digital. Tiap klik, pencarian, dan interaksi kita direkam, dipantau, dan bisa digunakan untuk menilai atau menghakimi kita di kemudian hari.

Dengan kata lain, agama telah lama memberi peringatan tentang zaman seperti ini. Namun, apakah ini benar-benar akhir, atau justru hanya salah satu fase dalam perjalanan umat manusia?

Filsafat: Menuju Kiamat atau Transendensi Digital?

Dari sisi filsafat, kita bisa melihat zaman ini sebagai dua kemungkinan besar: kiamat eksistensial atau lompatan menuju transendensi baru. Jean Baudrillard dan Simulacranya terus mempertanyakan apakah realitas masih ada? Ia pun mengajukan gagasan bahwa kita telah masuk ke era hiperrealitas, di mana batas antara yang nyata dan yang virtual telah kabur.

Jika manusia hidup dalam simulasi algoritma yang terus membentuk persepsi mereka, apakah kita masih bisa mengatakan bahwa kita hidup dalam dunia yang nyata? Apakah era digital adalah tanda kehancuran kesadaran manusia, atau justru awal dari bentuk kesadaran baru yang belum kita pahami?

Nietzsche menyatakan bahwa Tuhan telah mati—bukan dalam arti literal, tetapi karena manusia telah kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai tradisional dan kini mencari makna baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jika manusia kini bisa menciptakan kecerdasan buatan yang semakin menyerupai dirinya, menanamkan kesadaran ke dalam mesin, dan bahkan berusaha mencapai keabadian digital, bukankah ini bentuk baru dari ambisi "menjadi Tuhan"?

Begitu pula dengan Ray Kurzweil dan teori Singularitasnya. Apakah abad ini akan menjadi akhir kehidupan manusia dan menjadi awal Post-Humanisme? Menurutnya, dalam pemikiran transhumanisme, singularitas teknologi dipandang sebagai titik di mana kecerdasan buatan melampaui manusia dan menciptakan dunia yang sepenuhnya baru.

Jika ini terjadi, manusia mungkin tidak lagi eksis dalam bentuk yang kita kenal sekarang—tetapi apakah itu berarti kehancuran, atau justru awal dari kehidupan yang lebih tinggi?

Akhir atau Awal Baru? Jadi, apakah ini sudah akhir? Jawabannya tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Jika kita berpegang pada konsep-konsep keagamaan, mungkin kita memang sedang berada di fase akhir zaman, dengan segala tanda-tandanya yang semakin jelas. Namun, jika kita melihatnya dari perspektif filsafat dan teknologi, bisa jadi kita sedang berada di gerbang transformasi terbesar dalam sejarah umat manusia.

Mungkin ini bukan kiamat dalam arti kehancuran total, tetapi lebih seperti fase transisi menuju dunia yang benar-benar baru. Sebuah dunia di mana manusia harus menata ulang konsep moralitas, kesadaran, dan eksistensinya dalam ruang digital yang semakin mendominasi.

Yang pasti, di tengah ketidakpastian ini, pertanyaan yang lebih penting bukanlah apakah ini sudah akhir, tetapi bagaimana kita akan menjalani dan menghadapi perubahan ini?