selamat datang peziarah digital
Post-truth Era yang Mengaburkan Batas Fakta dan Fiksi, Kasus Ijazah Jokowi Sebagai Gejala Zaman
Di zaman ini, kita tidak lagi hidup di antara yang benar dan yang salah. Kita hidup di antara yang meyakinkan dan yang viral. Maka tak heran kalau isu ijazah Presiden Jokowi kembali
5/1/20252 min read
Di zaman ini, kita tidak lagi hidup di antara yang benar dan yang salah. Kita hidup di antara yang meyakinkan dan yang viral.
Maka tak heran kalau isu ijazah Presiden Jokowi kembali mengemuka, bukan hanya karena ada bukti baru yaitu skripsi Jokowi, yang menurut mereka anomali, tapi juga karena didukung mesin narasi yang sedang bekerja keras, sistematis dan berulang-ulang. Di era post-truth, itu sudah cukup untuk menciptakan ilusi kebenaran.
Kita sebut saja beberapa nama yang kembali muncul di pusaran isu ini. Roy Suryo, mantan Menpora sekaligus pakar telematika, kembali naik panggung. Bersama ahli digital forensik, Rismon Sianipar, ia mengulik dan menyebarkan kembali tudingan lama soal keaslian ijazah dan skripsi Jokowi. Tanda tangan, stempel, hingga font dalam dokumen pun dibedah seolah mereka sedang membongkar kode Da Vinci versi UGM.
Jokowi tak tinggal diam. Untuk pertama kalinya, ia melawan lewat jalur hukum. Kuasa hukumnya melaporkan Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan beberapa akun lain ke Polda Metro Jaya, dengan pasal 310 dan 311 KUHP (pencemaran nama baik) dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 UU ITE tentang penyebaran informasi bohong. Singkatnya, ini bukan lagi debat kafe, tapi sudah masuk ke babak resmi di ruang penyidikan.
Tapi para terlapor tak gentar. Mereka bahkan tampak seperti sedang menikmati situasi ini. Menurut mereka, ini adalah medan tempur strategis. Mereka justru merasa berada di titik paling menguntungkan secara naratif. Mereka tahu bahwa di tengah gelombang kebisingan digital, dilaporkan adalah tiket menuju eksistensi. Bukan hukuman, tapi promosi.
Sayangnya, mereka (dan kita semua) lupa satu hal penting: ini bukan lagi tentang siapa yang benar. Ini tentang siapa yang lebih sering muncul. Di era post-truth, algoritma menggantikan logika, dan persepsi kolektif dibentuk oleh intensitas, bukan substansi.
Apa yang kita saksikan hari ini bukan sekadar polemik hukum. Ini adalah gejala zaman. Di mana fakta dan fiksi sudah sulit dibedakan. Di mana konspirasi bisa terdengar lebih masuk akal daripada klarifikasi. Di mana kebohongan dan kebenaran tak lagi bertempur, tapi duduk berdampingan, saling menyapa, bahkan berbagi panggung.
Dan ketika itu terjadi, pertanyaan ilmiah atau pembuktian hukum menjadi kurang relevan. Karena yang menang bukan yang bisa membuktikan, tapi yang bisa membentuk frame. Dan framing hari ini dibentuk oleh apa yang muncul di layar kita—lagi dan lagi.
Kita sedang tidak menonton pembuktian kebenaran. Kita sedang menonton pertunjukan politik. Dengan panggung digital sebagai arena, algoritma sebagai wasit, dan kita semua sebagai penonton sekaligus korban.
Mau percaya ijazah Jokowi palsu? Silakan. Mau percaya itu hoaks murahan? Juga silakan. Karena pada akhirnya, dalam masyarakat post-truth, yang penting bukan apa yang benar, tapi siapa yang berhasil membentuk kenyataan versi mereka.
Dan kenyataan, hari ini, bukan dibentuk di ruang sidang. Tapi di ruang trending topic.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis yang lahir dari penalaran, renungan, pengalaman serta pengetahuan subjektif penulis. Interpretasi dan kesimpulan yang disajikan bersifat reflektif dan tidak dimaksudkan sebagai jawaban atau kebenaran. Silakan berbeda pendapat dan temukan makna tafsir versi dirimu sendiri