selamat datang peziarah digital
Senjakala Kapitalisme, Mimpi AI Akan Dunia yang Adil
Secara teori, AI mampu menggantikan pasar bebas yang liar dengan sistem yang lebih stabil dan terukur. Bisa mewujudkan impian para pemikir besar: dari Adam Smith, Ricardo, hingga Karl Marx
6/21/20252 min read
Mari kita bernostalgia. Ke zaman di mana kapitalisme masih dibenci. Ia dulu jadi isu utama gerakan sosial, menjadi bahan bakar demonstrasi mahasiswa, menjadi kutukan para buruh, dan dianggap dosa sistemik warisan kolonialisme.
Hari ini, kapitalisme tak lagi dibenci. Tak lagi diperbincangkan. Bukan karena sudah selesai, tapi karena ia telah menjadi sistem yang default. Ia tidak lagi dianggap masalah, tapi prasyarat. Seperti listrik yang harus menyala. Seperti sinyal yang harus ada. Tanpa kapitalisme, ekonomi dianggap tidak berjalan. Padahal, ia tetap berjalan—tapi hanya untuk mereka yang punya kendaraan. Sisanya? Jadi penumpang. Atau dilindas.
Kapitalisme hari ini hidup dalam bentuk baru. Ia bersembunyi di balik diskon-diskon marketplace, algoritma media sosial, dan fitur ojek online. Ia menyamar dalam segala hal yang kini kita anggap "normal". Ia menjadi udara: tak terlihat, tapi dihirup setiap hari. Ia tetap rakus seperti dulu—hanya lebih halus, lebih digital, lebih tak kasatmata.
Namun, di tengah sistem yang menua ini, muncul alat yang katanya bisa mengubah segalanya: kecerdasan buatan. AI. Teknologi yang digadang-gadang mampu merombak dunia dan menciptakan ulang peradaban.
AI bisa menghitung kebutuhan pangan satu kota—bahkan satu planet. Ia bisa merancang sistem logistik agar beras, air, dan obat-obatan sampai tepat waktu. Ia bisa memetakan kemiskinan dan bahkan mencegahnya. Secara teori, AI mampu menggantikan pasar bebas yang liar dengan sistem yang lebih stabil dan terukur. Bisa mewujudkan impian para pemikir besar: dari Adam Smith, Ricardo, hingga Karl Marx—semuanya bicara soal distribusi dan keadilan. Dulu, keterbatasan teknologi membuat ide-ide mereka sebatas utopia. Tapi sekarang, teknologinya sudah ada.
Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah kita sungguh ingin dunia yang adil?
Mari lihat ke medan perang. Iran dan Israel. Perang tak lagi soal peluru, tapi soal kode dan data. Iran menggunakan AI untuk sistem pertahanan rudal dan propaganda digital. Israel mengandalkan AI untuk menargetkan lokasi dan mengefisienkan serangan. Drone tempur tanpa pilot. Pengintaian berbasis wajah. AI digunakan untuk membunuh lebih cepat dan lebih tepat.
Jika AI bisa secanggih itu untuk membunuh, kenapa tidak bisa digunakan untuk menyelamatkan? Jawabannya sederhana: karena yang memegang kendali bukan nilai-nilai kemanusiaan, tapi kepentingan geopolitik. Keuntungan. Kekuasaan.
Sekarang coba Googling apa itu NEOM—kota futuristik di tengah padang pasir Arab Saudi. Kota yang dirancang sepenuhnya oleh AI. Transportasi tanpa sopir. Energi terbarukan. Layanan publik real-time. Sistem kesehatan prediktif. Di atas kertas, NEOM tampak seperti utopia: adil, canggih, minim limbah, efisien.
Tapi NEOM bukan mimpi rakyat. Ia adalah mimpi para pangeran dan pemodal. Ia dibangun oleh kekuasaan dan uang, bukan oleh kesetaraan. Maka pertanyaannya berubah: ini mimpi siapa sebenarnya?
Saya membayangkan AI lain. AI yang membantu petani menanam dan panen berdasarkan iklim dan kebutuhan pasar. AI yang melindungi UMKM dari gempuran diskon besar. AI yang menjadikan pendidikan lebih tepat dan relevan, bukan lebih mahal. AI yang mengenali kebutuhan masyarakat, bukan hanya mengikuti tren konsumen.
Dunia bisa jadi adil—jika alat secanggih AI diarahkan ke sana. Tapi masalahnya: alat itu masih dipegang oleh mereka. Yang menyewa programmer, mereka. Yang punya data, mereka juga.
Kapitalisme memang belum mati. Ia hanya berganti kulit. Lebih pintar. Lebih dingin. Lebih sunyi. Ia menyusup ke dalam sistem rekomendasi. Ia hidup di balik iklan. Ia berjalan bersama data yang kita berikan setiap hari.
Namun, mimpi akan dunia yang adil belum sepenuhnya mati. Selama masih ada orang yang bertanya:
"Kenapa AI lebih sering dipakai untuk perang, bukan untuk damai?"
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis yang lahir dari penalaran, renungan, pengalaman serta pengetahuan subjektif penulis. Interpretasi dan kesimpulan yang disajikan bersifat reflektif dan tidak dimaksudkan sebagai jawaban atau kebenaran. Silakan berbeda pendapat dan temukan makna tafsir versi dirimu sendiri