selamat datang peziarah digital
Wahabi Lingkungan dan Eskatologi Ekologis
Istilah “wahabi lingkungan” dari Gus Ulil memicu perdebatan. Apakah menjaga alam dengan keras adalah fanatisme atau justru bentuk kewarasan?
6/28/20252 min read
Pernyataan Ulil Abshar Abdalla dalam acara Rossi Kompas TV pekan lalu memancing perdebatan. Kepada aktivis Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, Ulil menyebut istilah yang cukup tajam: “wahabi lingkungan.”
Pernyataan itu muncul dalam konteks diskusi tentang rencana pertambangan di Raja Ampat, wilayah konservasi laut dan darat yang kini terancam oleh eksploitasi sumber daya.
Bagi Iqbal, hutan dan alam bukan sekadar “sumber daya,” melainkan warisan hidup yang harus dijaga. Bahkan ia menantang Gus Ulil secara terbuka:
“Sebutkan satu saja lokasi tambang di Indonesia yang berhasil memulihkan ekosistemnya seperti semula. Satu saja.”
Tak ada jawaban tegas. Dan tidak ada pula bantahan faktual.
Sebagai respons, Ulil bercerita tentang masa kecilnya yang hidup di lingkungan yang alami. Pepohonan lebat, sungai bersih dan ekosistem yang asri. Tetapi kini, anak-anaknya tak bisa menikmati ekosistem serupa.
Kemudian, ia menambahkan bahwa tambang pun bisa dianggap anugerah yang patut disyukuri—dan dikelola. Dari situ keluar istilah itu: “wahabi lingkungan”.
Dalam istilah tersebut, Ulil tampaknya merujuk pada sikap aktivis yang terlalu “puritan”—tidak lentur, anti kompromi, dan terlalu keras menentang pembangunan. Analogi itu ia diambil dari konteks Islam, di mana ada golongan Wahabi dikenal sebagai gerakan pemurnian yang sangat kaku dalam menafsir teks-teks suci Al Quran.
Masalahnya: apakah menolak tambang di kawasan ekosistem langka seperti Raja Ampat bisa disebut sikap kaku? Atau justru bentuk kewarasan terakhir di tengah kebijakan yang terus-menerus melubangi bumi tanpa pertanggungjawaban ekologis?
Kritik terhadap tambang bukan semata soal emosi. Ia berbasis pada realitas: ribuan lubang bekas tambang yang menganga, pencemaran sungai, konflik agraria, dan peminggiran warga lokal yang tidak pernah betul-betul menikmati manfaat dari tambang. Dalam konteks seperti ini, sikap keras bukanlah fanatisme. Ia adalah bentuk perlawanan paling dasar terhadap logika pembangunan yang destruktif.
Dalam diskursus kontemporer, muncul istilah “eskatologi ekologis”: pandangan bahwa kehancuran lingkungan hidup adalah tanda-tanda zaman yang menuju kehancuran sistemik. Kiamat tidak selalu datang dari langit, tapi bisa hadir dalam bentuk banjir bandang, krisis air, atau udara yang tak lagi layak dihirup.
Mereka yang menolak tambang di Raja Ampat bukan sedang membenci kemajuan. Mereka sedang membela kemungkinan masa depan.
Menjaga lingkungan hidup bukan ekstremisme. Sebaliknya, membiarkan kerusakan terus berjalan dengan dalih “syukur atas anugerah” bisa jadi merupakan bentuk kelalaian kolektif. Kita tentu bisa berbeda pendapat dalam strategi, tapi menuduh sikap peduli sebagai fanatik bisa melemahkan ruang dialog yang sehat.
Karena jika bumi ini adalah amanah—maka siapa pun yang menjaganya dengan keras layak dihargai, bukan dilabeli.
Sekarang giliran kita. Bertanyalah: dari mana listrikmu, makanmu, bajumu berasal. Suarakan penolakan terhadap tambang di kawasan lindung. Dukung mereka yang menjaga hutan dan laut, meski suaranya kecil. Pilih pemimpin yang meletakkan ekologi di atas retorika investasi.
Bumi tak menunggu kita sadar. Tapi kita masih bisa memilih: Menjadi generasi yang menyesal, atau generasi yang menjaga. Mulailah dari keberpihakanmu hari ini.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis yang lahir dari penalaran, renungan, pengalaman serta pengetahuan subjektif penulis. Interpretasi dan kesimpulan yang disajikan bersifat reflektif dan tidak dimaksudkan sebagai jawaban atau kebenaran. Silakan berbeda pendapat dan temukan makna tafsir versi dirimu sendiri